Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Apakah Anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak? Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi atau kendaraan. Bahkan untuk jarak tak sampai seratus meter saja, ada yang memilih naik kendaraan bermotor. Walhasil mereka lebih mudah tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki saat tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat. Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan seperti tenggorokan, maupun yang berat seperti jantung. Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu. Dan operasi jantung menjadi rutinitas.
Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan Muslim abad 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan. Orang itu adalah Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.
Ibn an-Nafis, seperti banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, adalah seorang polymath (pakar berbagai ilmu), yaitu ahli hadits, faqih madzhab Syafi'i, ahli bahasa, astronom, dokter bedah, ahli mata, dan ahli jantung.
Ibn an-Nafis adalah orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar. Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani. Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen. Teori Ibn an-Nafis ini menurut sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari abad 17.
Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung. Ibn an-Nafis juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata. Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.
Dalam kaitan dengan syaraf ini, dia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak ide Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung. Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ. Kesimpulannya “jiwa berhubungan dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk menerima jiwa”, dan “jiwa tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menyadari dirinya”. Sedang tubuh adalah terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.
Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina. Dia berpendapat bahwa sperma laki-laki maupun sel telur perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu laki-laki selalu mendominasi seperti teori sebelumnya.
Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga karena dia adalah pelopor kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat. Dengan itu dia berhasil mengembangkan pemahaman yang lebih akurat atas berbagai proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.
Pada 1242 M, saat usianya baru 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina. Setelah itu dia praktis menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid saat usianya 31 tahun. Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya. Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga saat itu.
Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, dia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “taklim”. Taklim pertama tentang prinsip-prinsip bedah. Di sini dia merinci tahapan-tahapan operasi dan peran serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap. Taklim kedua tentang peralatan bedah. Sedang taklim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga saat itu.
Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit. Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs). Dia lebih suka bila pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.
Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra. Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi). Ini adalah novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”. Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”. Novel ini bercerita tentang protagonis bernama Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil. Dia baru kontak dengan dunia luar setelah kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban. Plot cerita ini berkembang menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya adalah bencana dahsyat yang mendekati hari kiamat (idenya mirip film 2012). Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis menyampaikan berbagai pemikiran filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, peran para Nabi, asal usul manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya. Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas tentang biologi, astronomi dan geologi membuat novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.
Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah. Inilah yang membuat dia hijrah ke Mesir. Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam. Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam abad kemudian.[]
Apakah Anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak? Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi atau kendaraan. Bahkan untuk jarak tak sampai seratus meter saja, ada yang memilih naik kendaraan bermotor. Walhasil mereka lebih mudah tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki saat tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat. Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan seperti tenggorokan, maupun yang berat seperti jantung. Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu. Dan operasi jantung menjadi rutinitas.
Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan Muslim abad 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan. Orang itu adalah Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.
Ibn an-Nafis, seperti banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, adalah seorang polymath (pakar berbagai ilmu), yaitu ahli hadits, faqih madzhab Syafi'i, ahli bahasa, astronom, dokter bedah, ahli mata, dan ahli jantung.
Ibn an-Nafis adalah orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar. Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani. Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen. Teori Ibn an-Nafis ini menurut sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari abad 17.
Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung. Ibn an-Nafis juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata. Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.
Dalam kaitan dengan syaraf ini, dia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak ide Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung. Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ. Kesimpulannya “jiwa berhubungan dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk menerima jiwa”, dan “jiwa tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menyadari dirinya”. Sedang tubuh adalah terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.
Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina. Dia berpendapat bahwa sperma laki-laki maupun sel telur perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu laki-laki selalu mendominasi seperti teori sebelumnya.
Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga karena dia adalah pelopor kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat. Dengan itu dia berhasil mengembangkan pemahaman yang lebih akurat atas berbagai proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.
Pada 1242 M, saat usianya baru 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina. Setelah itu dia praktis menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid saat usianya 31 tahun. Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya. Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga saat itu.
Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, dia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “taklim”. Taklim pertama tentang prinsip-prinsip bedah. Di sini dia merinci tahapan-tahapan operasi dan peran serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap. Taklim kedua tentang peralatan bedah. Sedang taklim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga saat itu.
Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit. Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs). Dia lebih suka bila pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.
Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra. Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi). Ini adalah novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”. Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”. Novel ini bercerita tentang protagonis bernama Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil. Dia baru kontak dengan dunia luar setelah kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban. Plot cerita ini berkembang menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya adalah bencana dahsyat yang mendekati hari kiamat (idenya mirip film 2012). Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis menyampaikan berbagai pemikiran filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, peran para Nabi, asal usul manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya. Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas tentang biologi, astronomi dan geologi membuat novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.
Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah. Inilah yang membuat dia hijrah ke Mesir. Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam. Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam abad kemudian.[]