BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Pendidikan mampu menjadikan manusia sebagai manusia yang
lebih mulia. Demikian pula dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki
peran yang Sangat penting dalam menjamin perkembangan dan kelangsungan
kehidupan bangsa.
Dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menghadapi era globalisasi
dewasa ini, banyak ditemukan individu-individu yang
materialistik, individualistik dan lain sebagainya, sehingga melahirkan prilaku
yang menyimpang dari perkembangan potensi yang telah diberikan oleh Allah SWT
kepada setiap manusia sejak ia lahir.
Hal tersebut dapat terjadi karena kesalahan sistem pendidikan dan bimbingan yangdiberikan sebelum nya, selain godaan setan yang memang diperkenankan oleh Allah untuk menggoda manusia. Oleh karena itu,dunia pendidikan pada saat ini sering dikritik oleh masyarakat yang dikarenakan adanya sejumlah pelajar dan lulusan pendidikan yang menunjukkansikapyangkurangterpuji.
Keadaan seperti itu semakin menambah potret pendidikan semakin tidak menarik serta dapat menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap wibawa dunia pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan bimbingan
terhadap perkembangan pribadi yang bersifat menyeluruh atau dapat diartikan
sebagai usaha untuk membina kepribadian manusia sesuai dengan nilai-nilai dalam
masyarakat dan kebudayaan serta norma agama, yang dalam perkembangannya dapat
berarti proses pendewasaan, sehingga dapat bertanggung jawab terhadap diri
sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis.
Pada umumnya manusia yang beradab setidak-tidaknya memiliki Common sense(akal sehat) tentang pendidikan, bahwa pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan dapat
mempengaruhi perkembangan manusia dalam seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan. Pendidikan mempunyai pengaruh yang dinamis dalam kehidupan manusia
di masa depan. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya
secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu yang setinggi-tingginya
dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual, sesuai dengan
tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosial
budaya di mana dia hidup.
Usia remaja merupakan masa transisi atau peralihan. Pada saat itu,
terjadi suatu prosesmenuju pematangan intelektual, seni, spiritual dan jasmani
guna membentuk kejelasan identitas (jati diri) saat menghadapi keraguan siapa
sebenarnya dirinya, sehingga timbul gejolak emosi dan tekanan jiwa
Menurut Muhammad Quthub, kekuatan spiritual pada diri manusia merupakan
kekuatannya yang paling besar, paling agung dan paling mampu untuk berhubungan
dengan hakikat wujud. Sedangkan kekuatan fisiknya hanya terbatas pada sesuatu
yang dapat ditangkap oleh indra. Kemampuan akal, meskipun yang paling bebas,
namun masih terbatas ruang dan waktu. Kekuatan spiritual tidak diketahui batas
ataupun ikatannya. Dan hanya kekuatan spiritual yang mampu berkomunikasi dengan
Allah.
Dalam dunia pendidikan, adanya bimbingan dan konseling memilki arti
cukup penting untuk mengembangkan kepribadian anak, termasuk pula spiritualnya.
Bimbingan dan konseling merupakan proses pemberian bantuan yang terarah kepada
seseorang/sekelompok orang secara terus-menerus dan sistematis oleh guru pembimbing agar individu/kelompok individu menjadi
pribadi yang yang mandiri yaitu mengenal diri sendiri
dan lingkungannya, menerima diri sendiri dan lingkungannya secara positif dan dinamis, dapat mengambil keputusan dan mengarahkan
diri sendiri. Adapun dalam kaitannya dengan spiritualnya, individu mampu
melakukan hubungan/interaksi vertikal dengan Allah atau dengan kata lain untuk
mewujudkan kaitan yang terus menerus antara jiwa dengan Allah dalam setiap
kesempatan, perbuatan, pemikiran ataupun perasaan. Oleh karena itu, islam
memberikan perhatian khusus terhadap spiritual yang merupakan sentral bagi
manusia, karena spiritual merupakan penghubung manusia dengan Allah.
Salah satu sarana yang efektif untuk meningkatkan spiritual seseorang
yaitu melalui ibadah. Karena dengan ibadah dapat melahirkan hubungan yang terus
menerus serta perasaan mengabdi kepada Allah. Hikmah yang paling mendasar dari
perasaan tersebut adalah mengaitkan hamba kepada Tuhannya, memperkokoh hubungan
dengan-Nya.
Pada prinsipnya, semua manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai
makhluk yang fitri, suci, bersih, sehat serta atribut-atribut positif lainnya.
Oleh karena itu, sebagai makhluk ciptaan Allah, maka seharusnya manusia selalu
berpegang teguh pada agama Allah (Islam), oleh karena itu diperlukan suatu
upaya pengembangan potensi yang searah dengan tujuan Islam yaitu dengan
Bimbingan dan Konseling Islam (BKI). BKI ini merupakan proses pemberian bantuan
yang terarah, kontinyu dan sistematis kepada setiap individu agar dia dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal dengan cara
menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadist
Rasulullah ke dalam diri, sehingga ia dapat hidup selaras dengan tuntunan
Al-Qur’an dan Hadist. Bila internalisasi nilainilai yang terkandung di dalam
Al-Qur’an dan Hadist itu tercapai dan potensi telah berkembang secara optimal,
maka individu tersebut dapat menciptakan hubungan yang baik dengan Allah SWT,
dengan manusia dan alam semesta dan inilah yang menjadi tinjauan dari BKI.
Betapapun baiknya sistem pendidikan tanpa dijalankan BK yang baik, maka
programyang baik tidak ada gunanya. Dengan kata lain BK
adalah bagian yang integral dalam pendidikan, bagian
yang tak terpisahkan dengan pendidikan. Sebab pendidikan pada umumnya selalu
berintikan bimbingan. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan individu anak.
Segala aspek diri anak didik harus dikembangkan termasuk
spiritualitasnya.BKIadalahupaya membantu perkembangan
aspek tersebut menjadi optimal,harmonisdan wajar.
Pelaksanaan BK terutama dalam aspek keagamaan (spiritualitas), diadakan
kurang lebih dua kali dalam sebulan. Dalam pelaksanaannya, guru BK juga bekerja
sama dengan guru agama. Namun, peran yang dilakukan oleh guru agama hanya sebatas
memberikan materi-materi pelajaran agama yang telah tercantum dalam kurikulum
sekolah serta membantu menjalankan program yang dibuat oleh guru BK yaitu
mengadakan program keagamaan khusus yang dikemas dalam program Kecakapan
Penerapan Ibadah, yang meliputi kecakapan dalam ibadah sholat, kecakapan
membaca dan menulis serta memahami kandungan/isi Al-Qur’an, kecakapan dalam
mengamalkan sunnah rasul atau kegiatan keagamaan
seperti tahlil, istighotsah, dan lain sebagainya. Dengan adanya program
tersebut, diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi
keagamaan/spiritualitasnya sehingga dapat menciptakan siswa yang memiliki
kepribadian dan perilaku yang baik serta kepekaan yang tinggi terhadapagama.
Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya peranan BKI itu
besar sekali manfaatnya, namun eksistensinya kurang disadari oleh banyak pihak
terutama siswa di sekolah.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah Pengertian perkembangan
spiritual peserta didik ?
2.
Apakah Makna dari perkembangan
spiritual peserta didik?
3.
Bagaimana Karakteristik
perkembangan spiritual peserta didik?
4.
Bagaimanakah perkembangan
spiritual terhadap pendidikan ?
5.
Bagaimanakah proses perkembangan
spiritual peserta didik ?
6.
Faktor – faktor apa sajakah yang
mempengaruhi perkembangan spiritual peserta didik?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas, maka tujuannya adalah :
1.
Membangun landasan bagi
berkembang potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif,
mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
2.
Mengembangkan potensi kecerdasan
spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada
masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan
menyenangkan.
BAB II
TEORI KONSEP
TEORI KONSEP
2.1
PENGERTIAN PERKEMBANGAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Spiritual adalah suatu ragam konsep
kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara
kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang
utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan spiritual
merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup,
serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan
makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu
menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri
secara bertanggung jawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta
memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.. Sedangkan ingersol
dalam Desmita (2009:264) menyatakan, spiritualitas sebagai wujud karakter
spiritual, kualitas atau sifat dasar dan upaya dalam berhubungan atau bersatu
dengan tuhan.
Sehingga dapat diartikan bahwa,
kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang
yang beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa
jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi, sehingga sikap hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agreeindisagreement),
dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality"
(keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari
kuti-kutipandiatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan
spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting,
dimana sangat menentukan hasil atau mencapai puncak dan akhirnya.
2.2
MAKNA PERKEMBANGAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Echoks dan Shadily dalam Desmiata (2009:264)
berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu ”spirituality”.
Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat. Sedangkan
Ingersoll dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata spiritual berasal
dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath),
keteguhan hati atau keyakinan (caorage), energy atau semangat
(vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari kata latinspiritualis
yang berarti ”of the spirit” (kerohanian)
Menurut Aliah dan purwakaniahasan dalam
Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup dan makna
pribadi yang luas, dengan kata kunci sebagai berikut :
a.
Meaning(makna).
Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan
situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
b. Values
(nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai.
c. Transcendence
(transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan
terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
d. connecting
(bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan
diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
e.
Becoming
(menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan
bagai mana seseorang mengetahui.
Dari kutipan diatas dapat diartikan
bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan
memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang lain, tuhan dan
alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri
seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut
spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup,
tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai
manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak
percaya sebagai apapun.
2.3
KARAKTERISTIK
PERKEMBANGAN SPIRITUAL
A.
Karakteristik
perkembangan spiritualitas anak usia sekolah
Tahap mythic-literalfaith, yang
dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita (2009:281), berpendapat
bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai
berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan kategori -kategori baru. Pada
tahap ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi
masyarakatnya, dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada
bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang tengah berada dalam
tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan memahami
segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga
berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan. Dengan
demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya dipahami
secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada di
mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
B. Karakteristik
perkembangan spiritualitas remaja
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak
misalnya keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup
berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan
berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka
pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap
keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal
anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada
masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitifnya. Mungkin
mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Menurut
Muhammad Idrus dalam Desmita (2009:283), pola kepercayaan yang dibangun remaja
bersifat konvensional, sebab secara kognitif, efektif dan sosial, remaja mulai
menyesuaikan diri dengan orang lain yang berarti baginya (significantothers)
dan dengan mayoritas lainya.
2.4 PERKEMBANGAN SPIRITUAL TERHADAP PENDIDIKAN
Untuk mengembangkan spiritual,
pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam
mengembangkan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang religius.
Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam
masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup
pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian,
kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survaydan
berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di
sekolah dalam membantu perkembangan spiritual peserta didik yaitu sebagai
berikut:
a. Memberikan
pendidikan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah
sebagai atmosfer agama secara keseluruhan.
b. Menjadikan
wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya
sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari
pengalaman keberagamaan.
c. Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual
paranting,seperti:
1. Memupuk
hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
2. Menanyakan
kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
3. Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
4. Menyuruh
anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun (Desmita,2009:287).
2.5
PROSES
PERKEMBANGAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
Teori Fowler dalam Desmita (2009:279)
mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya
dalam lingkup perkembangan intelektual dan emosional yang dicapai oleh
seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu adalah:
1.
Tahap prima faith.
Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa
percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman
relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam
interaksi antara anak dan pengasuhnya.
2. Tahap
intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap
ini kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya
masih merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang
dewasa, anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan
mengarahkan perhatian sepontan serta gambaran intuitif dan proyektifnya
pada ilahi.
3. Tahap
mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini,
sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna
dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang
pribadi, orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan
secara konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
4. Tahap
synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja
atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan
kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui
kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat
pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal,
sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan
oleh lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai
mencapai pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara
keagamaan yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu
sendiri. Allah dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam
kehidupan mereka. Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling
intim, yang tanpa syarat. Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat
dengan dirinya sendiri. Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa
komitmen dalam diri remaja terhadap sang khalik
5. Tahap
individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada
masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan
tanggung jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal
pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut
Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a. Adanya
kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain,
individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b. Mengabaikan
kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif”
sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan
membantunya membentuk identitas diri.
6. Tahap
Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith,
yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai
dengan perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan
agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap
pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran
akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
7. Tahapuniversalizingfaith,
yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama pada masa ini ditandai
dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental untuk mencapai perasaan ketuhanan,
serta adanya desentralisasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa
konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap
ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian
kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik
pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan
perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling tua.
2.6
FAKTOR –
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN SPIRITUAL
a.
Pembawaan (internal)
Setiap manusia yang lahir, baik yang
masih primitif, bersahaja, maupun yang sudah modern, baik yang lahir di Negara
komunis maupun kapitalis, baik dari orang tua yang saleh maupun yang jahat,
menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau keimanan kepada
Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya yang mengatur yang mengatur
hidup dan kehidupan alam semesta. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia memiliki
fitrah untuk mempercayai suatu zat yang mempunyai kekuatan baik memberikan
sesuatu yang bermanfaat maupun yang mudhorot (mencelakakan). Dalam
perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada
yang mendapat bimbingan dari rasul dan Allah SWT, sehingga fitrah itu
berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
b. Lingkungan
(eksternal)
Fitrah beragama merupakan potensi yang mempunyai
kecenderungan untuk berkembang. Namun perkembangan itu tidak akan terjadi
manakala tidak ada faktor luar yang memberikan stimulus yang memungkinkan
fitrah itu berkembang sebaik-baiknya.
·
Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak aleh karena itu kedudukan
keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam
mengembangkan fitrah beragama, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian
orang tua, sebagai berikut :
1.
Sebaiknya orang tua memiliki
kepribadian yang baik atau berakhlakulkarimah. Kepribadian orang tua merupakan
unsur- unsur pendidikan yang tidak langsung memberikan pengaruh terhadap
perkembangan fitrah beragama anak.
2. Orang tua
hendaknya memperlakukan anak dengan baik
3. Orang tua
hendaknya membina hubungan yang harmonis antara anggota keluarganya
4.
Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan,
atau melatihkan ajaran perkembangan kepribadian agama terhadap anaknya
·
Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik
dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka
berkembang sesuai dengan potensinya. Menurut Hurlock pengaruh sekolah terhadap
perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi
dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orang tua. Dalam upaya
mengembangkan fitrah beragama para siswa, sekolah terutama guru agama mempunyai
peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan
pengamalan ibadah atau akhlak mulia, maka guru agama hendaklah memiliki karakteristik
sebagai berikut :
1. Kepribadian
yang mantap, seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas,
disiplin dalam bekerja dan respek terhadap siswa
2. Menguasai
disiplin ilmu terutama bidang yang akan diajarkan, minimal materi yang
terkandung dalam kurikulum
3. Memahami
ilmu-ilmu lain yang relevan untuk menunjang kemampuannya dalam mengelola proses
belajar mengajar.
·
Masyarakat
Implikasi
Tugas Perkembangan Remaja dalam Penyelenggaraan Pendidikan
1.
Tugas-tugas perkembangan remaja
2.
Tugas perkembangan merupakan suatu
tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam rentang kehidupan manusia,
apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan
kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka
akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan,
menimbulkan penolakan masyarakat, dan menimbulkan kesulitan dalam menuntaskan
tugas-tugas berikutnya.
3.
Tugas perkembangan berkaitan dengan
sikap, perilaku dan keterampilan yang seyogyanya dimiliki oleh individu
Munculnya tugas-tugas perkembangan
bersumber pada faktor-faktor :
1.
Kematangan fisik, misalnya, belajar
berjalan karena kematangan otot-otot kaki, belajar bertingkah laku dan bergaul
sesama jenis atau dengan lain jenis karena kematangan organ-organ seksual
2.
Tuntutan masyarakat secara kultural,
misalnya belajar membaca, belajar menulis, belajar berhitung, belajar
berorganisasi
3.
Tuntutan dari dorongan dan cita-cita
individu sendiri, misalnya memilih pekerjaan, memilih teman hidup
4. Tuntutan
norma agama, misalnya taat beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama manusia.
bolej mnta refernsi bukunya?
BalasHapusminta referensi bukunya kak!
BalasHapus