Jumat, 01 Juni 2012

Pertumbuhan dan Perkembangan Emosi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu. Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang nampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan meronta.
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan- perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai/perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu disebut Warna Efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau samar-samar saja.
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi di sini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang (mendalam).

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional?
2.    Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan emosi?
3.    Masalah-masalah apa saja yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional?
4.    Bagaimana cara mengatasi masalah-masalah yang terjadi terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan emosional.
2.      Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan emosional
3.      Mengetahui beberapa masalah yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional.
4.      Mengetahui cara mengatasi beberapa masalah yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA (TEORI)

A.    Pertumbuhan dan Perkembangan Emosional
1. Definisi Emosi
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan- perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau samar-samar saja. Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa ( a strid up state) yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah terjadinya perilaku. (Syamsudin, 2005:114).
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan emosi di sini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang (mendalam).
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri–ciri sebagai berikut :
a.    Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
b.    Bersifat fluktuatif ( tidak tetap ).
c.    Banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera.
Mengenai ciri – ciri emosi ini dapat dibedakan antara emosi anak dan emosi pada orang dewasa sebagai berikut :
1)      EMOSI ANAK
a)      Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba
b)      Terlihat lebih hebat dan kuat
c)      Bersifat sementara/dangkal
d)     Lebih sering terjadi
e)      Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya
2)      EMOSI ORANG DEWASA
a)      Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat
b)      Tidak terlihat hebat/kuat
c)      Lebih
d)     Jarang terjadi
e)      Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikannya
2. Penggolongan Emosi
Membedakan satu emosi dari emosi lainnya dan menggolongkan emosi-emosi yang sejenis ke dalam satu golongan atau satu tipe adalah sangat sukar dilakukan karena hal-hal yang berikut ini:
a.    Emosi yang sangat mendalam
Misalnya sangat marah atau sangat takut menyebabkan aktivitas badan yang sangat tinggi, sehingga seluruh tubuh diaktifkan, dan dalam keadaan seperti ini sukar untuk menentukan apakah seseorang sedang takut atau sedang marah.
b.   Satu orang dapat menghayati satu macam emosi dengan berbagai cara.
Misalnya, kalau marah ia mungkin gemetar di tempat, tetapi lain kali mungkin ia memaki-maki, dan lain kali lagi ia mungkin lari.
c.    Nama yang umumnya diberikan kepada berbagai jenis emosi
Biasanya didasarkan pada sifat rangsangnya bukan pada keadaan emosinya sendiri. Jadi, "takut" adalah emosi yang timbul terhadap suatu  yang bahaya, "marah" dalah emosi yang timbul terhadap sesuatu yang menjengkelkan.
d.   Pengenalan emosi secara subyektif dan introspektif
Hal ini juga sukar dilakukan karena selalu saja akan ada pengaruh dari lingkungan.
3. Pertumbuhan Emosi
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi- situasi tertentu. Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang nampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan meronta.
Pengaruh kebudayaan besar sekali terhadap perkembangan emosi, karena dalam tiap-tiap kebudayaan diajarkan cara menyatakan emosi yang konvensional dan khas dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga ekspresi emosi tersebut dapat dimengerti oleh orang-orang lain dalam kebudayaan yang sama. Klineberg pada tahun 1938 menyelidiki literatur-literatur Cina dan mendapatkan berbagai bentuk ekspresi emosi yang berbeda dengan cara-cara yang ada di dunia Barat. Ekspresi-ekspresi itu antara lain :
a. Menjulurkan lidah kalau keheranan.
b. Bertepuk tangan kalau kuatir.
c. Menggaruk kuping dan pipi kalau bahagia.
 Yang juga dipelajari dalam perkembangan emosi adalah obyek - obyek dan situasi-situasi yang menjadi sumber emosi. Seorang anak yang tidak pernah ditakut-takuti di tempat gelap, tidak akan takut pada tempat gelap.
Warna efektif pada seseorang mempengaruhi pula pandangan orang tersebut terhadap obyek atau situasi di sekelilingnya. Ia dapat suka atau tidak menyukai sesuatu, misalnya ia suka kopi, tetapi tidak suka teh. Ini disebut preferensi dan merupakan bentuk yang paling ringan daripada pengaruh emosi terhadap pandangan seseorang mengenai situasi atau obyek di lingkungannya. Dalam bentuknya yang lebih lanjut, preferensi dapat menjadi sikap, yaitu kecenderungan untuk bereaksi secara tertentu terhadap hal-hal tertentu.
Sikap pada seseorang, setelah beberapa waktu, dapat menetap dan sukar untuk diubah lagi, dan menjadi prasangka. Prasangka ini sangat besar pengaruhnya terhadap tingkah laku, karena ia akan mewarnai tiap-tiap perbuatan yang berhubungan dengan sesuatu hal, sebelum hal itu sendiri muncul di hadapan orang yang bersangkutan.
Sikap yang disertai dengan emosi yang berlebih-lebihan disebut kompleks, misalnya kompleks rendah diri, yaitu sikap negatif terhadap diri sendiri yang disertai perasaan malu, takut, tidak berdaya, segan bertemu orang lain dan sebagainya.
Ada beberapa contoh pengaruh emosi terhadap perilaku individu diantaranya :
a.    Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b.    Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi). Menghambat atau mengganggu konsentrsi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous ) dan gagap dalam berbicara.
c.    Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
d.   Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
4. Tahap Perkembangan Emosi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. “Perkembangan emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak”.
Secara umum Semiawan (2002: 11) membagi perkembangan anak dalam berbagai tahap, dalam uraiannya dikatakana bahwa kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti :
a.         Fase sensoris motor berkembang pada usia 0 – 2 tahun. Fase ini berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik halus/panca indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan kasih sayang orang tua sangat bermakna pada fase ini.
b.         Fase prekonkrit operasional (usia 3 – 6). Pada fase ini perkembangan bahasa anak sangat pesat.
c.         Fase konkrit operasional berkembang pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahun. Pada fase ini rasa ingin tahu anak besar sekali. Anak akan sangat mudah memahami jika diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata.
d.        Fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan rumus, simbol, dan lain-lain.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan kemampuan anak. Pada setiap fase kesemuanya merupakan proses kesinambungan yang saling berhubungan dan menentukan fase-fase berikutnya. Proses belajar yang berbeda, juga pengaruh gen yang dibawa menyebabkan adanya perbedaan tiap individu dalam konteks kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang kecenderungan emosional dan tidak emosional.
Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada. “Gejala pertamanya ialah keterangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi”. Meskipun demikian, pada saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas tatkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayun-ngayunnya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, lebih hati-hati, dan lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi dan juga usia pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, meskipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan, taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai.
Para ahli sepakat bahwa ada aspek lain selain aspek kecerdasan intelektual atau logika yang berpengaruh dalam menentukan keberhasilan seseorang di lingkungan sosial. Pribadi yang sehat adalah pribadi dengan kecerdasan emosi yang optimal. Kecerdasan emosi tidak dapat didapat dengan sesaat melainkan sebuah proses yang terjadi selama masa tumbuh dan kembang anak.
Kecerdasan emosi adalah kemampuan, kapasitas atau keterampilan seseorang untuk dapat menerima, mengukur dan mengatur emosi dirinya sendiri, orang lain atau bahkan kelompok sehingga memudahkannya berinteraksi sehari-hari.
Anak yang tidak diberi ruang untuk berkembang secara emosi dapat tumbuh menjadi pribadi yang sulit. Hal tersebut dapat terbawa terus hingga memasuki masa dewasanya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan fisik yang harmonis menjadi cikal bakal pribadi anak yang sehat yang sangat dibutuhkan saat mereka tumbuh dewasa nanti.
 
5. Beberapa Jenis Emosi
a.      Takut
Takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Bentuk ekstrim dari takut adalah takut yang pathologis yang disebut phobia. Phobia adalah perasaan takut terhadap hal-hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun tidak ada alasan yang nyata, misalnya takut terhadap tempat yang sempit dan tertutup (claustrophobia), takut terhadap ketinggian atau takut berada di tempat-tempat yang tinggi (acrophobia), takut terhadap kerumunan orang, takut tempat-tempat ramai (ochlophobia).
Rasa takut lain yang merupakan kelainan kejiwaan adalah kecemasan (anxiety) yaitu rasa takut yang tak jelas sasarannya dan juga tidak jelas alasannya. Kecemasan yang terus menerus biasanya terdapat pada penderita-penderita Psikoneurosis.
b.      Khawatir
Khawatir atau was-was adalah rasa takut yang tidak mempunyai obyek yang jelas atau tidak ada obyeknya sama sekali. Kekuatiran menyebabkan rasa tidak senang, gelisah, tegang, tidak tenang, tidak aman. Kekuatiran seseorang untuk melanggar norma masyarakat adalah salah satu bentuk kekuatiran yang umum terdapat pada tiap-tiap orang dan kekuatiran ini justru positif karena dengan demikian orang selalu bersikap hati-hati dan berusaha menyesuaikan diri dengan norma masyarakat.
c.       Cemburu
  Kecemburuan adalah bentuk khusus dan kekuatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap diri sendiri dan ketakutan akan kehilangan kasih sayang dari seseorang. Seorang yang cemburu selalu mempunyai sikap benci terhadap saingannya.
d.      Gembira
Gembira adalah ekspresi dari kelegaan, yaitu perasaan terbebas dari ketegangan. Biasanya kegembiraan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat tiba-tiba (surprise) dan kegembiraan biasanya bersifat spesial, yaitu melibatkan orang- orang lain di sekitar orang yang sedang gembira tersebut.                    

e.       Marah
Sumber utama dari kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai pada tujuannya. Dengan demikian, ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak mereda, bahkan bertambah. Untuk menyalurkan ketegangan- ketegangan itu individu yang bersangkutan menjadi marah.

B.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Beberapa ahli psikologi menyebutkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, yaitu:
1.         Pola asuh orangtua.
Pola asuh orang tua terhadap anak bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja, sehingga ada yang bersifat otoriter, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga dengan penuh cinta kasih. Perbedaan pola asuh dari orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi peserta didik.
Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalamannya berinteraksi di dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain dalam lingkungannya. Dalam pembentukan kepribadian seorang anak, keluarga mempunyai pengaruh yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak, salah satu faktor tersebut adalah pola asuh orangtua.
Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dimana suatu tugas tersebut berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya baik secara fisik maupun psikologis.
Cara orang tua memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang mendalam dan permanen pada kehidupan anak. Pasangan yang secara emosional lebih terampil merupakan pasangan yang paling berhasil dalam membantu anak-anak mereka mengalami perubahan emosi. Pendidikan emosi ini dimulai pada saat-saat paling awal dalam rentang kehidupan manusia, yaitu pada masa bayi.
Idealnya orangtua akan mengambil bagian dalam pendewasaan anak-anak karena dari kedua orangtua anak akan belajar mandiri melalui proses belajar sosial dengan modelling
2.         Pengalaman traumatik.
Kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, dampaknya jejak rasa takut dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkan dapat berlangsung seumur hidup. Kejadian-kejadian traumatis tersebut dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga.
3.         Temperamen.
Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita. Hingga tahap tertentu masing- masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia.
4.         Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya.
5.         Usia
Perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usianya. Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Ketika usia semakin tua, kadar hormonal dalam tubuh turut berkurang, sehingga mengakibatkan penurunan pengaruhnya terhadap kondisi emosi. Namun demikian, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang yang sudah tua, kondisi emosinya masih seperti orang muda yang cenderung meledak- ledak. Hal tersebut dapat diakibatkan karena adanya kelainan- kelainan di dalam tubuhnya, khususnya kelainan anggota fisik. Kelainan yang tersebut dapat terjadi akibat dari pengaruh makanan yang banyak merangsang terbentuknya kadar hormonal.
6.         Perubahan jasmani.
Perubahan jasmani ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh. Pada taraf permulaan petumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidak seimbangan tubuh ini sering mempunyai akibat yang tidak terduga pada perkembangan emosi peserta didik. Tidak setiap peserta didik dapat menerima perubahan kondisi tubuh seperti ini, lebih-lebih perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormone-hormon tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan rangsangan di dalam tubuh peserta didik dan seringkali menimbulkan masalah dalam perkembangan emosinya.
7.         Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya.
Peserta didik sering kali membangun interaksi sesame teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng. Interaksi antar anggotanya dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Fakor yang sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis. Gejala ini sebenarnya sehat bagi peserta didik, tetapi tidak jarang menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada mereka jika tidak diikuti dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa.
8.         Perubahan Pandangan Luar.
Ada sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri peserta didik, yaitu:
a.    Sikap dunia luar terhadap peserta didik sering tidak konsisten
b.    Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai yang berbeda untuk peserta didik laki-laki dan perempuan.
c.    Seringkali kekosongan peserta didik dimamfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab.
9.         Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang sangat diidealkan oleh pererta didik. Para guru merupakan tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya. Oleh karena itu tidak jarang anak-anak lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih takut kepada guru daripada kepada orang tuanya. Posisi guru disini amat strategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian materi-materi yang positif dan konstruktif.
C.    Beberapa masalah yang Terkait dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Emosional
1.    Gangguan Emosional pada Kanak-kanak
Terdapat beberapa gangguan emosional pada masa kanak-kanak sehingga terkesan dan sebagai penyebab ketakutan kanak-kanak untuk melakukan kegiatan. Antara lain pada suasana yang gelap sehingga takut melakukan sesuatu pada malam hari di luar rumah; takut berhadapan dengan seorang dokter karena pernah mendapat pengobatan yang berlebihan dosisnya (overdosis); karena temperamen orang dewasa dirumahnya, misalnya sering dimarahi sehingga anak takut berhadapan dengan orang dewasa, baik dengan orang tuanya sendiri maupun orang lain.
Anak-anak yang sering mengalami gangguan semacam itu selalu merupakan masalah bagi para psikiater, kurang lebih 20-25% yang menderita gangguan tersebut dan hanya sekitar 1 diantara 5 orang anak yang mendapatkan perawatan dengan baik.  Gangguan semacam ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor.  Menurut hasil penelitian Pittsburgh diperoleh informasi bahwa 22% dari 789 anak usia antara 7-11 tahun sering mendapat perawatan dari seorang psikiater pada tahun-tahun pertama (Costello et al dalam Sumantri, M & Nana S, 2007).  Hasil penelitian lain menunjukkan 5-15% anak yang mengalami gangguan, namun prosentasi yang rendah ini mewakili 3-9 juta anak (Knitzer dalam Sumantri, M & Nana S, 2007).
Anak laki-laki di Afrika dan Amerika dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, mengalami risiko yang tinggi, karena tekanan hidup dan stres selama hidupnya, akibatnya mereka seringkali mengulang kelas di sekolahnya.  Hal ini juga dapat disebabkan karena orang tuanya seringkali bermasalah dengan psikiater.
 2.    Beberapa Tipe Masalah Emosional
Kebrutalan atau kebringasan anak nampak pada perilakunya; mereka menunjukkan suatu perbuatan yang seringkali memerlukan bantuan orang lain.  Misalnya; berkelahi, berbohong, mencuri, merusak hak milik dan merusak aturan yang berlaku.  Bentuk-bentuk tindakan tersebut merupakan ekspresi yang keluar dari emosional yang terganggu.  Sekalipun demikian pada umumnya anak-anak berusaha merubahnya dan menutupi perilaku mereka dengan mengemukakan alasan untuk dapat dipercayai oleh orang lain, menutupi kebohongannya dengan maksud menghindari hukuman karena perbuatannya. Akan tetapi ketika anak telah berusia lebih dari 6 atau 7 tahun sekalipun mereka tetap membuat cerita yang bohong, mereka merasa sadar tidak aman perasaannya.  Oleh karena itu dia membuat cerita yang muluk-muluk agar orang lain percaya kepadanya; dapat pula mereka lakukan berbuat bohong tersebut karena untuk menyenangkan orang tuanya (Chapman dalam Sumantri, M & Nana S, 2007).
Seringkali juga terjadi pencurian kecil-kecilan yang dilakukan oleh anak-anak. Namun hal semacam ini tidak selamanya merupakan perbuatan yang salah kecuali apabila perbuatan semcam itu dilakukan secara terus-menerus terhadap orang tuanya atau bahkan dilakukan secara terbuka terhadap orang lain;mereka dapat ditangkap, namun untuk kesekian kalinya mereka berusaha ingkar dan berusaha menyenangkan atau mengelabui orang tuanya.  Setiap perilaku anti sosial yang kronis harus dianggap sebagai suatu tanda adanya emosional yang terganggu.
3.    Gangguan Kecemasan
Berbagai gangguan kecemasan dimulai pada masa kanak-kanak.  Gangguan keinginan tersebut dapat berupa gangguan keinginan terpisah dan ketakutan (phobia) sekolah.  Gangguan keinginan terpisah dari orang yang terdekat disebabkan berbagai hal yang berbeda-beda dan dapat berakibat anak mengalami sakit kepala, sakit perut, dan sebagainya.  Akan tetapi kondisi semacam ini sangat berbeda di antara anak-anak yang berusia satu atau dua tahun yang mengalami gangguan keinginan terpisah.
Anak-anak yang menderita gangguan keinginan semacam ini seringkali tidak mau berteman; dengan kata lain dia suka menyendiri dan selalu peduli terhadap penyakitnya, misalnya sakit kepala, sakit perut.  Kondisi semacam ini dapat mempengaruhi anak laki-laki maupun perempuan semenjak kanak-kanak bahkan sampai dewasa usia mahasiswa.
4.    Takut Sekolah
Suatu ketakutan yang tidak realistic adala apabila seorang anak tidak mau sekolah, mungkin kondisi semacam ini juga merupakan keinginan terpisah.  Ketakutan terhadap guru yang keras (galak) atau mendapat tugas yang berat disekolah.  Ketakutan anak tersebut adalah wajar, hal ini bukannya disebabkan oleh anak melainkan oleh lingkungan yang tidak kondusif, oleh karena itu suasana sekolah perlu dirubah.  Berkaitan dengan masalah tersebut yang dapat kita lakukan adalah:
Dijaga jangan sampai anak tersebut suka membolos / meninggalkan kelas.  Orang tua mereka tahu bahwa anak-anaknya tidak hadir di sekolah. Namun anak-anak tersebut dapat memperoleh nilai rata-rata, bahkan lebih tinggi daripada teman-temannya, memiliki intelegensi melebihi rata-rata dan merupakan anak yang baik.  Usianya antara 5-15 tahun dan dapat terjadi baik pada anak laki-laki maupun perempuan.  Sekalipun mereka datang dari berbagai keluarga dengan latar belakang yang berbeda, namun orang tuanya cenderung professional.  Orang tua mereka justru lebih menyukai/mencintai mereka dan bukannya suka menekan anak-anaknya; gangguan keinginan tersebut disebabkan oleh perilaku anak itu sendiri.  Unsur yang paling penting dalam memperlakukan anak yang takut (phobia) pada skeolah dapat dimulai sejak dini dan dilakukan secara terus-menerus.  Apabila perlakuan semacam ini dilakukan secara teratur dan dibimbing dengan baik, maka pada saat kembali sekolah anak tersebut tidak akan mengalami kesukaran apapun.  Berbagai penelitian yang dilakukan beberapa waktu belakangan ini hasilnya kurang jelas, sekalipun dapat menentukan bahwa perlakuan yang baik dapat menolong anak menyesuaikan diri pada lingkungannya (D. Gordon&Young dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).
5.    Kematangan Sekolah
Kematangan sekolah merupakan suatu kondisi dimana anak telah memiliki kesiapan cukup memadai, baik dilihat dari fisiknya maupun mental, untuk dapat memenuhi tuntutan pendidikan formal.  Dalam hubungan tuntutan yang bertalian dengan aspek penguasaan materi atau bahan pelajaran, dan kemampuan membina interaksi antara teman-teman sebaya, baik teman satu kelas maupun teman dari kelas lain, berinteraksi dengan guru, kepalaa sekolah dan personil sekolah lainnya.  Secara umum usia anak yang dianggap matang sekolah adalah lima atau enam tahun.  Pada rentang usia ini, anak telah mencapai perkembangan fisik sebagai dasar yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan segala sesuatu di sekolah, antara lain anak telah mampu mengurus dirinya sendiri, menguasai penggunaan alat tulis dengan betul dan dapat menerima makanan padat.  Disamping itu perkembangan kognitif yang memadai juga sangat dibutuhkan, misalnya anak mulai dapat membaca dan menulis. Kemampuan membaca dan menulis sangat penting karena merupakan dasar untuk memahami seluruh materi atau bahan pelajaran yang diberikan di sekolah.
Secara psikis pada usia ini umumnya anak telah mampu mengatur proses buang air kecil, mulai bersosialisasi dalam pengertian telah dapat membedakan teman laki-laki atau perempuan, serta berusaha membedakan antara salah dan benar.
Kemampuan dasar lainnya adalah bahwa anak telah mampu mengembangkan hubungan emosional yang sehat dengan orang tua, teman sebaya dan orang lain.  Pada saat mulai masuk sekolah anak tidak memiliki rasa kecemasan karena terpisah dengan orang tuanya. Selain menerima kasih sayang, anak juga telah mampu memberikan kasih sayang kepada teman sebayanya maupun kepada orang lain. Hal semacam ini juga dapat mendukung anak pada saat belajar sekolah.
6.    Depresi pada Masa Kanak-kanak
Anak-anak mulai sadar akan popularitas seringkali mengatakan “ tidak ada orang seperti saya”.  Namun ketika ucapan terebut ditujukan kepada kepala sekolah oleh seorang anak yang berusia 8 tahun yang kebetulan teman sekelasnya yang menuduh dia mencuri dompet gurunya, hal semacam ini merupakan tanda bahaya bagi sekolah.  Akibatnya anak tersebut tidak suka dan tidak mau datang lagi ke sekolah karena malu.  Untunglah bahwa anak yang tertekan tersebut jarang yang berkepanjangan, walaupun angka bunuh diri pada anak-anak meningkat.  Gejala-gejala dasar yang mempengaruhi gangguan tersebut adalah serupa pada masa kanak-kanak hingga dewasa.  Hanya pada usia tertentu terdapat sedikit perbedaan.  Keakraban hanya merupakan salah satu tanda dari anak-anak yang mengalami depresi.  Gangguan tersebut juga dapat mengakibatkan anak tidak suka bersenang-senang, tidak dapat berkonsentrasi dan tidak dapat menunjukkan berbagai reaksi emosional yang normal.  Anak-anak yang mengalami depresi sedikit sekali suka berjalan atau berteriak.  Gejala-gejala depresi antara lain; gangguan konsentrasi, tidur kurang, selera makan kurang, mulai berbuat kejelekan di sekolah, tidak merasa bahagia, selalu mengeluh karena penyakit jasmani yang dideritanya, selalu merasa bersalah, takut sekolah atau sering memikirkan bunuh diri (Malmquist&Poznanski dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).  Setiap empat atau lima dari gejala-gejala tersebut banyak mendukung suatu diagnose ada depresi terutama apabila anak menunjukkan perilaku lain tidak seperti anak-anak normal.  Pada umumnya orang tua tidak memahami adanya berbagai masalah kecil seperti gangguan waktu tidur, kehilangan nafsu makan dan sebagainya, namun seringkali anak sendiri dapat menunjukkan adanya gangguan tersebut.
Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui penyebab timbulnya depresi semacam ini secara tepat.  Pada orang tua yang memiliki anak yang menderita depresi merasa seakan-akan dia sendiri yang sedang mengalami depresi.  Ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan faktor keturunan, ada yang mengatakan bahwa depresi tersebut dikarenakan adanya stress umum dalam keluarga, dikarenakan kurang perhatian orang tua karena mereka juga sedang mengalami gangguan (Weissman et al dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).  Anak usia sekolah yang sedang menderita depresi biasanya kurang bergaul dan tidak memiliki kompetensi akademik, namun hal tersebut masih belum jelas penyebabnya apakah kurangnya kompetensi tersebut dikarenakan adanya depresi atau sebaliknya yaitu depresi akibat tidak kompetennya anak (Blechman,McEnroe,Carella&Audette dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).
D.    Cara mengatasi beberapa masalah yang terjadi terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional
Pilihan untuk perawatan secara khusus untuk gangguan tertentu sangat tergantung pada berbagai faktor, misalnya problema yang bersifat alamiah, kepribadian anak, kesediaan orang tua untuk berpartisipasi, kemudahan diperolehnya perawatan dalam masyarakat, sosial ekonomi orang tua dan orientasi profesional pada pertama kali berkonsultasi.
Perawatan psikologis dapat dilakukan dengan melihat anak satu persatu, membantu agar anak dapat mengenal dirinya atau kepribadiannya dan hubungannya dengan orang lain dan menginterpretasikan perasaan dan perilaku anak.  Cara demikian dapat menolong anak pada suatu waktu yang sedang mengalami stress berat dalam hidupnya, seperti baru saja ditinggalkan orang tuanya untuk selama-lamanya.  Sekalipun kadang-kadang anak tidak memperlihatkan bahwa dia sedang mengalami gangguan.  Psikoterapi biasanya akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan memberikan konsultasi pada orangtuanya. 
Terapi merupakan penetapan sistematik dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau perilaku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan.  Perubahan yang dimaksud dapat berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau memodifikasi suatu kondisi atau perilaku tertentu.  Misalnya anak yang menderita phobia dilatih agar mengurangi rasa takutnya hingga mencapai kadar yang wajar.  Secara umum terdapat dua jenis terapi utama, yaitu; terapi yang dilakukan dalam jangka pendek biasanya berkaitan dengan masalah ringan yang dapat diselesaikan dengan memberikan metode memberikan dorongan, dukungan memberi ide-ide bagus, menghhibur atau membujuk anak agar mau berbuat sesuatu.  Kedua dilakukan dalam jangka waktu panjang, yaitu bertalian dengan berbagai masalah yang memerlukan keteraturan dan kontinuitas demi terciptanya perubahan perilaku anak.  Sebagai contoh dapat dikemukakan antara lain terapi bermain dan terapi keluarga.
Terapi bermain
Terapi ini berusaha mengubah perilaku anak yang bermasalah dengan menempatkan anak dalam situasi bermain.  Untuk pelaksanaannya biasanya disediakan ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga anak bisa bersantai dan dapat mengekspresikan segala perasaan dengan bebas. 
Terapi keluarga
Terapi ini berusaha mengubah perilaku anak yang memiliki permasalahan dalam lingkungan keluarga, saling akrab satu sama lain, saling cinta mencintai, saling mendukung atau menggambarkan bantuan dengan penuh pengertian.  Oleh karena itu untuk melaksanakan terapi ini perlu kehadiran seluruh keluarga, atau minimal anggota keluarga yang paling dekat dengan anak tersebut. Dalam hal ini usaha pembinaan dan bimbingan dari keluarga yang lebih tua sangat dibutuhkan.
Terapi perilaku atau modifikasi perilaku
Metode ini diterapkan dengan mempergunakan teori belajar untuk mengubah perilaku anak yaitu dengan menghilangkan perilaku yang tidak disenangi seperti pemarah, atau mengembangkan keinginan, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah (PR).  Para ahli terapi perilaku tidak mencari alasan yang berkaitan dengan perilaku tersebut, atau tidak mencoba menawarkan tilikan anak pada dirinya sendiri secara khusus dalam situasi tertentu akan tetapi tujuan mereka adalah mengubah perilaku anak.  Ahli tersbeut mempergunakan peran yang dikondisikan untuk mendorong agar anak melakukan sesuatu misalnya menaruh pakaian kotor ke dalam ember.  Demikian anak melakukannya berkali-kali apabila hasilnya baik dia mendapat reward atau hadiah misalnya dengan memberikan pujian atau hadiah berupa mainan.
Perawatan untuk berbagai masalah khusus, misalnya karena terlalu aktif akan lebih banyak daripada terapi yang tujuannya untuk penyesuaian sosial yang lebih baik.  Tidak seoarang pun yang dapat memberikan terapi secara keseluruhan, misalnya bagi seorang anak atau kelompok, atau perawatan bagi anak dan orang tuanya sekaligus; sebaiknya suatu perawatan untuk masalah tertentu saja (Tuma dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007). Terapi perilaku khusus diterapkan secara efektif untuk rasa ketakutan (phobi) dan berbagai masalah umum dengan control diri.
Obat-obatan dapat menolong perawatan bagi anak yang menderita gangguan, namun jangan mengabaikan psikoterapi.  Biasanya penggunaan obat-obatan dikombinasikan dengan perawatan lain agar dapat lebih efektif.  Akan tetapi penggunaan pil untuk mengubah perilaku anak merupakan langkah yang sangat radikal. Dalam beberapa kasus obat-obatan dapat menghilangkan gejala perilaku, namun  tidak dapat menghilangkan penyebab penyakitnya. 
Selagi para orang tua, ahli terapi dan peneliti seringkali melihat adanya perbaikan terbatas pada anak-anak yang mendapat terapi, baik para guru dan teman bermain cenderung tidak melihat adanya perbaikan tersebut.  Pertama karena kesan tersebut sangat sukar diatasi. Hal semacam ini akan dapat ditolong apabila orang tua mengatakan kepada guru bahwa anaknya telah mendapat terapi dan ada perbaikan dan mohon bantuan agar anak mendapat teman baru dan tidak mengetahui apa yang telah diderita anak sebelum  memperoleh perawatan mengatakan kepada guru bahwa anaknya telah mendapat terapi dan ada perbaikan, disamping dan dibantu agar anak tersebut mendapat tidak mengetahui apa yang telah diderita anak sebelum  memperoleh perawatan.
 
 BAB III
STUDI KASUS DAN PENYELESAIANNYA

A.    Studi Kasus
1.      Masalah emosional, seperti rasa takut, cemas dan khawatir yang kerap terjadi pada siswa yang baru mulai sekolah ataupun siswa yang akan menghadapi ujian akhir sekolah ataupun ujian nasional.
2.      Motivasi belajar yang rendah yang dialami oleh siswa yang telah memulai pelajaran disekolahnya.
3.      Meningkatnya solidaritas sesama jenis kelamin dan kecemburuan terhadap lawan jenisnya dalam proses belajar mengajar di kelas ataupun diluar kelas (jam sekolah) pada siswa SD
4.      Ketidakdisiplinan yang ditandai dengan perilaku-perilaku sebagai berikut; ramai di dalam kelas, terlambat datang ke sekolah, tidak memakai seragam, tidak mengerjakan PR atau melalaikan tugas.
5.      Pertengkaran antar siswa dan perbuatan asosial lain seperti pemalak, mengambil milik orang lain/mencuri/mengutil serta masalah tata krama siswa (misalnya;berbicara tidak sopan, tidak jujur).
6.      Pencarian identitas diri yang pada akhirnya menyimpang ke arah negative seperti penggunaan Mihol dan penyalahgunaan Narkoba yang biasa terjadi pada masa remaja atau dewasa awal
7.      Depresi pada anak

B.     Penyelesaiannya
1.      Pada siswa baru yang mulai masuk sekolah mengalami masa transisi lingkungan.  Dia biasa hidup di lingkungan yang kecil (keluarga) kini dihadapkan pada lingkungan yang lebih besar (lingkungan sekolahnya) dimana ia bertemu dengan orang yang  baru.  Hal ini dapat menyebabkan siswa tersebut merasa takut, cemas dan khawatir karena ia hanya sendirian menghadapi lingkungan yang baru tersebut karena biasanya ia didampingi orang tuanya / keluarganya.  Beberapa cara yang dapat kita lakukan adalah dengan:
a.         Pada saat pertama masuk sekolah dapat juga kita melibatkan orang tua dalam permainan seperti mengelilingi sekolah (siswa masih digandeng orang tua masing-masing) kemudian setelah selesai permainan tersebut, orang tua diperkenankan meninggalkan kelas tapi masih boleh menunggui anaknya di luar kelas (karena sang anak tidak mau ditinggal orang tuanya)
b.        Pada siswa seperti ini, kita sebagai guru harus pandai mengambil hati sang anak agar ia mau membaur dengan teman-temannya, tidak takut untuk bermain dengan teman barunya.  Bisa juga dengan memberikan sebuah permainan yang melibatkan siswa yang satu dengan yang lainnya sehingga antara siswa yang satu dengan yang lainnya membaur bersama sehingga pada saat interaksi tersebut (interaksi yang menyenangkan) siswa merasa nyaman dengan lingkungan barunya.
c.    Selain hal tersebut diatas, rasa takut mungkin timbul karena penampilan guru yang dianggap “menakutkan” oleh siswa.  Jika demikian, kita sebagai guru harus juga memperhatikan penampilan kita, berpakaian yang rapih, selalu tersenyum kepada siswa (ramah tamah) dan pada saat memulai pelajaran hendaknya diawali dengan pemanasan misalnya dengan melakukan tebak-tebakan yang terkait dengan materi yang akan diajarkan sehingga kesan seram dapat dihilangkan dan kesan belajar menyenangkan dapat dirasakan siswa.
d.    Untuk siswa yang merasa takut, cemas, khawatir karena akan menghadapi ujian akhir ataupun ujian nasional, kita sebagai guru hendaknya lebih bijak dalam bertindak dalam arti kita tidak menuntut terlalu banyak kepada murid misalnya dengan menargetkan semua harus lulus dan konsekuensi logisnya adalah dengan memberikan pelajaran tambahan yang justru mugkin untuk sebagian siswa pelajaran tambahan yang diberikan terlalu sering akan semakin menambah rasa takut dan cemasnya.  Hendaknya disela-sela pertemuan dengan siswa, kita memberikan spirit ataupun semangat dan motivasi untuk berusaha sekuat tenaga dan berdoa, hasil akhir serahkan kepada Tuhan.  Kaidah kausalitas selalu berlaku, tanamkan hal tersebut pada siswa, usaha yang keras dan doa yang tiada henti akan memberikan hasil yang lebih bagus daripada orang yang hanya berdoa tanpa berusaha ataupun hanya berusaha tanpa berdoa.
2.      Motivasi belajar yang rendah dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya; dari siswa itu sendiri dan dari lingkungan tempat ia tinggal (lingkungan sekitar dan anggota keluarga).  Yang dapat dilakukan oleh seorang guru adalah dengan pendekatan psikologis kepada anak tersebut dan kepada orang tuanya.  Kedua hal tersebut harus dilakukan agar hasil yang dicapai akan lebih optimal.  Kepada anak kita lakukan dengan memberinya motivasi untuk menjadi pintar dengan memberikan contoh riil yang nyata yang dapat dimengerti anak.  Contohnya dengan pengibaratan, jika menjadi pedagang ilmu apa yang harus dikuasai, bayangkan jika tidak memiliki ilmu tersebut.  Misalnya ada pembeli membeli barang dagangan kita, yang seharusnya diberi kembalian dua ribu rupiah karena tidak pandai dalam matematika maka kita akan member kembalian 5 ribu atau sekian rupiah.  Jika hal ini terjadi terus-menerus maka akan menanggung kerugian bahkan tutup usaha.  Dari sini kita memberikan motivasi agar anak ingin belajar matematika karena ilmu ini akan bermanfaat kelak untuk kehidupannya.
3.      Dalam mengajar, sebaiknya guru menghilangkan sikap diskriminasi terhadap siswa tertentu, artinya guru tidak memihak salah satu murid tertentu atau sekelompok siswa putera ataupun puteri. Hal yang demikian akan memunculkan sikap antagonisme dan kecemburuan siswa terhadap siswa lawan jenisnya. Perlakukan semua siswa dengan adil, misalnya pada saat kebersihan, libatkan semua murid baik laki-laki maupun perempuan dengan member tugas sesuai dengan kemampuan mereka dengan waktu yang sama. 
4.      Ketidakdisiplinan dapat terjadi karena siswa itu sendiri ataupun dorongan dari teman sebayanya.  Hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberi punishment/reward (hukuman/penghargaan). Hukuman yang diberikan pun harus mendidik, bukan hukuman yang malah akan membuat siswa menjadi lebih tidak disiplin.  Memberikan hukuman kepada siswa dengan memberikan tugas yang berlipat-lipat dihindari, alangkah baiknya bila guru melihat kondisi kejiwaan dan kemampuan berpikirnya. Hal ini bila diabaikkan justru yang terjadi adalah siswa yang  kurang mampu dalam berpikir akan membuatnya semakin takut dan enggan untuk sekolah ataupun enggan untuk mengerjakan tugas-tugas / PR. Sebaliknya bagi siswa yang berkemampuan lebih dalam berfikir, ia akan semakin semangat dan tertantang dalam belajar. Begitu pula dalam memberikan hukuman, sebaiknya guru memberikannya sebagai alternatif terakhir disertai dengan sikap empati. Artinya setelah guru memberikan hukuman pada siswa, guru bersikap seperti semula dan tidak membenci siswa setelah siswa melakukan kesalahan.  Untuk siswa yang sering membuat kegaduhan di kelas sebaiknya diberikan materi tambahan atau tugas tambahan, biasanya siswa yang demikian adalah siswa yang sudah mengerti materi ataupun belum sama sekali sehingga ia menggoda teman-temannya.  Untuk siswa yang sudah memahami diberikan materi yang lebih jauh dibandingkan temannya dan untuk siswa yang belum paham sekali di tunggui dalam arti kita memberikan perhatian yang lebih dibandingkan kepada siswa yang lainnya.
5.      Langkah guru dengan melakukan pendekatan secara individual atau pendampingan, merupakan langkah yang tepat dan adanya ketanggapan guru terhadap masalah perasaan siswa. Jadi, dalam belajar di sini adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Demikian pula kedekatan guru dengan siswa perlu dipertahankan selama tidak menggangu dalam proses belajar-mengajar. Sebab hubungan guru dan siswa yang akrab dan harmonis akan memunculkan semangat belajar dan siswa akan lebih mencontoh segala perilaku gurunya sebagai orang terdekatnya. Untuk itulah perlunya guru agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, karena guru adalah tokoh panutan bagi siswa-siswanya sampai dewasa kelak.  Terapi perilaku denga metode bermain peran dapat juga dilakukan untuk memperbaiki perilaku siswa yang menyimpang.  Dengan permainan yang melibatkan siswa lain akan menimbulkan kerja sama antar siswa sehingga rasa kebersamaan dapat tumbuh dan rasa persaudaraan juga tumbuh.  Pertengkaran siswa yang satu dengan yang lainnya pun dapat dihindari karena siswa merasa bersaudara.
6.      Pencarian identitas diri kerap kali menjadi alasan bagi para remaja untuk pembenaran terhadap apa yang dilakukannya termasuk ke dalam penyalahgunaan mihol ataupun narkoba.  Pendekatan psikologis dilakukan agar dapat diketahui penyebab dari penyimpangan tersebut sehingga dapat diselesaikan berdasarkan akar masalahnya.  Pada permasalahan ini libatkan juga orang tua.  Terapi psikoterapi pada psikolog dilakukan jika memang diperlukan dan rehabilitasi perlu dilakukan agar lepas dari pengaruh narkoba yang selama ini dikonsumsi.  Hal tersebut dilakukan secara bersama-sama agar hasil yang dicapai dapat optimal, dukungan orang tua merupakan hal yang lebih penting untuk menyelesaikan masalah ini.
7.  Depresi adalah sama dengan perasaan sedih,murung,kesal,tidak bahagia dan menderita. Penyebab depresi: Tekanan dalam hidup sehari-hari(misal:tuntutan pekerjaan dan sekolah), masalah dan tekanan dalam ekonomi(misal:hutang yang menumpuk atau piutang yang belum di bayar), kemampuan dan kecakapan sosial yang buruk buruk(misal:harga diri rendah karena merasa kurang menarik walaupun sudah berpenampilan baik dan sopan), cara berfikir yang buruk (misal:sering merasa khawatir dan cemas secara berlebihan, merekayasa hal yang menakutkan dan bodoh yang sesekali akan terjadi).   Pendampingan / pendekatan psikologi dari orang-orang terdekat sangatlah dibutuhkan. Misalnya dengan meminta anak tersebut bercerita dan kita siap untuk mendengarkannya (curhatannya) sehingga diketahui akar masalahnya dan kita dapat memberikan penyelesaian sesuai dengan akar permasalahannya tersebut.




























0 komentar:

Posting Komentar

bagaimana menurutmu?