BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan
oleh proses pematangan dan proses belajar.
Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia
hampir mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia
dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan
belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk
maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu. Pada
bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang nampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan meronta.
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan- perasaan tertentu, yaitu
perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan
senang atau tidak senang yang selalu menyertai/perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu disebut Warna Efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat,
kadang-kadang lemah atau samar-samar saja.
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan
tegas, karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif
yang tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu,
suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan,
tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan
emosi di sini bukan terbatas pada emosi atau perasaan
saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang
yang disertai dengan warna efektif, baik pada tingkat
yang lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang (mendalam).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pertumbuhan dan
perkembangan emosional?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan
emosi?
3. Masalah-masalah apa saja yang terkait
dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional?
4. Bagaimana cara mengatasi masalah-masalah
yang terjadi terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional?
C.
Tujuan
1. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan
emosional.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan emosional
3. Mengetahui beberapa masalah yang terkait
dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional.
4. Mengetahui cara mengatasi beberapa masalah
yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA (TEORI)
A.
Pertumbuhan dan Perkembangan Emosional
1. Definisi Emosi
Pada
umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan- perasaan tertentu, yaitu
perasaan senang atau perasaan tidak senang. Perasaan
senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita
sehari-hari itu disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat,
kadang-kadang lemah atau samar-samar saja. Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang
kompleks (a complex
feeling state) dan getaran jiwa ( a
strid up state) yang menyertai atau munculnya
sebelum dan sesudah terjadinya perilaku. (Syamsudin, 2005:114).
Perbedaan
antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena keduanya
merupakan suatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas
batasnya. Pada suatu saat tertentu, suatu warna efektif dapat
dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Jadi, sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Oleh karena itu,
yang dimaksudkan dengan emosi di sini bukan terbatas pada
emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan
pada diri seseorang yang disertai dengan warna efektif,
baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun pada
tingkat yang (mendalam).
Jadi
emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu
tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu
tingkah laku yang tampak. Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri–ciri sebagai berikut :
a. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa
psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berpikir.
b. Bersifat fluktuatif ( tidak tetap ).
c. Banyak bersangkut paut dengan peristiwa
pengenalan panca indera.
Mengenai ciri –
ciri emosi ini dapat dibedakan antara emosi anak dan emosi pada orang dewasa
sebagai berikut :
1)
EMOSI ANAK
a) Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba
b) Terlihat lebih hebat dan kuat
c) Bersifat sementara/dangkal
d) Lebih sering terjadi
e) Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah
lakunya
2)
EMOSI ORANG DEWASA
a) Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan
lambat
b) Tidak terlihat hebat/kuat
c) Lebih
d) Jarang terjadi
e) Sulit diketahui karena lebih pandai
menyembunyikannya
2. Penggolongan Emosi
Membedakan
satu emosi dari emosi lainnya dan menggolongkan emosi-emosi yang sejenis ke dalam
satu golongan atau satu tipe adalah sangat sukar
dilakukan karena hal-hal yang berikut ini:
a.
Emosi yang sangat mendalam
Misalnya sangat marah atau
sangat takut
menyebabkan aktivitas badan yang sangat tinggi, sehingga seluruh
tubuh diaktifkan, dan dalam keadaan seperti ini sukar untuk menentukan apakah seseorang sedang takut atau sedang marah.
b.
Satu orang dapat menghayati
satu macam emosi dengan berbagai cara.
Misalnya, kalau marah ia
mungkin gemetar di tempat, tetapi lain kali mungkin ia memaki-maki, dan lain
kali lagi ia mungkin lari.
c.
Nama yang umumnya diberikan
kepada berbagai jenis emosi
Biasanya didasarkan pada sifat
rangsangnya bukan pada keadaan emosinya
sendiri. Jadi, "takut"
adalah emosi yang timbul terhadap suatu
yang bahaya, "marah" dalah emosi
yang timbul terhadap sesuatu yang menjengkelkan.
d.
Pengenalan emosi secara subyektif dan introspektif
Hal ini juga sukar dilakukan karena selalu saja akan ada pengaruh dari
lingkungan.
3. Pertumbuhan Emosi
Pertumbuhan
dan perkembangan emosi, seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan proses
belajar. Seorang bayi yang baru lahir sudah dapat menangis, tetapi ia hampir mencapai tingkat
kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis
dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada
situasi- situasi tertentu. Pada
bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah kegelisahan yang nampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis dan meronta.
Pengaruh
kebudayaan besar sekali terhadap perkembangan emosi, karena dalam
tiap-tiap kebudayaan diajarkan cara menyatakan emosi yang
konvensional dan khas dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga ekspresi emosi tersebut dapat dimengerti oleh orang-orang
lain dalam kebudayaan yang sama. Klineberg pada tahun
1938 menyelidiki literatur-literatur Cina dan mendapatkan
berbagai bentuk ekspresi emosi yang berbeda dengan
cara-cara yang ada di dunia Barat. Ekspresi-ekspresi itu
antara lain :
a. Menjulurkan lidah kalau
keheranan.
b. Bertepuk tangan kalau kuatir.
c. Menggaruk kuping dan pipi kalau bahagia.
b. Bertepuk tangan kalau kuatir.
c. Menggaruk kuping dan pipi kalau bahagia.
Yang juga dipelajari dalam perkembangan emosi adalah obyek -
obyek dan situasi-situasi yang menjadi sumber emosi. Seorang anak yang tidak
pernah ditakut-takuti di tempat gelap, tidak akan takut pada tempat gelap.
Warna
efektif pada seseorang mempengaruhi pula pandangan orang tersebut terhadap obyek atau situasi di sekelilingnya.
Ia dapat suka atau tidak menyukai sesuatu, misalnya ia suka kopi, tetapi tidak suka
teh. Ini disebut preferensi dan merupakan bentuk yang
paling ringan daripada pengaruh emosi terhadap pandangan
seseorang mengenai situasi atau obyek di lingkungannya.
Dalam bentuknya yang lebih lanjut, preferensi dapat
menjadi sikap, yaitu kecenderungan untuk bereaksi secara tertentu terhadap hal-hal tertentu.
Sikap
pada seseorang, setelah beberapa waktu, dapat menetap dan sukar untuk diubah
lagi, dan menjadi prasangka. Prasangka ini sangat besar
pengaruhnya terhadap tingkah laku, karena ia akan mewarnai tiap-tiap perbuatan
yang berhubungan dengan sesuatu hal, sebelum hal itu sendiri
muncul di hadapan orang yang bersangkutan.
Sikap
yang disertai dengan emosi yang berlebih-lebihan disebut kompleks, misalnya kompleks rendah diri, yaitu sikap
negatif terhadap diri sendiri yang disertai perasaan
malu, takut, tidak berdaya, segan bertemu orang lain dan
sebagainya.
Ada beberapa contoh
pengaruh emosi terhadap perilaku individu diantaranya :
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa
senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b. Melemahkan semangat,
apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan
ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi). Menghambat atau mengganggu konsentrsi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup
(nervous ) dan
gagap dalam berbicara.
c. Terganggu penyesuaian sosial, apabila
terjadi rasa cemburu dan iri hati.
d. Suasana emosional yang
diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi
sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain.
4. Tahap Perkembangan Emosi
Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala psikis yang bersifat
subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami
dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. “Perkembangan
emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan pertumbuhan dan perkembangan
anak”.
Secara umum Semiawan
(2002: 11) membagi perkembangan anak dalam berbagai tahap, dalam uraiannya
dikatakana bahwa kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti :
a.
Fase sensoris motor berkembang pada usia 0 – 2 tahun. Fase ini
berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik halus/panca
indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan kasih sayang orang tua sangat
bermakna pada fase ini.
b.
Fase prekonkrit operasional (usia 3 – 6). Pada fase ini perkembangan bahasa anak sangat pesat.
c.
Fase konkrit operasional berkembang pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahun.
Pada fase ini rasa ingin tahu anak besar sekali. Anak akan sangat mudah
memahami jika diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata.
d.
Fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah
berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan rumus, simbol,
dan lain-lain.
Kutipan di atas
menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan kemampuan anak. Pada setiap
fase kesemuanya merupakan proses kesinambungan yang saling berhubungan dan menentukan fase-fase
berikutnya. Proses belajar yang berbeda, juga pengaruh gen yang dibawa menyebabkan
adanya perbedaan tiap individu dalam konteks kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang
kecenderungan emosional dan tidak emosional.
Ketika bayi baru lahir,
kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada. “Gejala pertamanya ialah
keterangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi”. Meskipun demikian, pada
saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan
sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa
neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi
reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidaksenangan.
Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi
secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi
tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada
kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas
besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas tatkala bayi menetek. Reaksi
semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayun-ngayunnya,
menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya dengan mesra. Rasa
senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan
dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.
Seiring dengan
meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, lebih hati-hati, dan lebih
dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan
ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi
mereka semakin bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda,
mengejangkan tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata.
Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat
sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Meskipun pola
perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi dalam segi frekuensi,
intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi dan juga usia
pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir dan semakin
sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak.
Dengan meningkatnya usia anak,
semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena mereka harus mempelajari
reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, meskipun emosi itu
berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan
oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan, taraf kemampuan intelektualnya serta
kondisi lingkungan. Anak yang cenderung kurang emosional dibandingkan dengan
anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional
terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang
pandai.
Para ahli sepakat bahwa
ada aspek lain selain aspek kecerdasan intelektual atau logika yang berpengaruh
dalam menentukan keberhasilan seseorang di lingkungan sosial. Pribadi yang
sehat adalah pribadi dengan kecerdasan emosi yang optimal. Kecerdasan emosi
tidak dapat didapat dengan sesaat melainkan sebuah proses yang terjadi selama
masa tumbuh dan kembang anak.
Kecerdasan emosi adalah
kemampuan, kapasitas atau keterampilan seseorang untuk dapat menerima, mengukur
dan mengatur emosi dirinya sendiri, orang lain atau bahkan kelompok sehingga
memudahkannya berinteraksi sehari-hari.
Anak yang tidak diberi
ruang untuk berkembang secara emosi dapat tumbuh menjadi pribadi yang sulit.
Hal tersebut dapat terbawa terus hingga memasuki masa dewasanya. Pertumbuhan
dan perkembangan jiwa dan fisik yang harmonis menjadi cikal bakal pribadi anak
yang sehat yang sangat dibutuhkan saat mereka tumbuh dewasa nanti.
5. Beberapa Jenis Emosi
a.
Takut
Takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin
menghindari kontak dengan hal itu. Bentuk ekstrim dari takut
adalah takut yang pathologis yang disebut phobia. Phobia adalah perasaan
takut terhadap hal-hal tertentu yang demikian kuatnya, meskipun
tidak ada alasan yang nyata, misalnya takut terhadap
tempat yang sempit dan tertutup (claustrophobia), takut terhadap ketinggian atau takut berada di tempat-tempat yang tinggi (acrophobia), takut terhadap kerumunan orang, takut tempat-tempat
ramai (ochlophobia).
Rasa takut lain yang merupakan kelainan kejiwaan adalah kecemasan (anxiety) yaitu rasa takut
yang tak jelas sasarannya dan juga tidak jelas alasannya. Kecemasan yang terus menerus biasanya terdapat pada
penderita-penderita Psikoneurosis.
b.
Khawatir
Khawatir atau was-was adalah rasa takut yang tidak mempunyai obyek yang jelas atau tidak ada
obyeknya sama sekali. Kekuatiran menyebabkan rasa tidak senang,
gelisah, tegang, tidak tenang, tidak aman. Kekuatiran seseorang untuk melanggar norma masyarakat adalah salah satu bentuk kekuatiran yang
umum terdapat pada tiap-tiap orang dan kekuatiran ini
justru positif karena dengan demikian orang selalu
bersikap hati-hati dan berusaha menyesuaikan diri dengan norma
masyarakat.
c.
Cemburu
Kecemburuan adalah bentuk
khusus dan kekuatiran yang didasari oleh kurang adanya keyakinan terhadap
diri sendiri dan ketakutan akan kehilangan kasih sayang
dari seseorang. Seorang yang cemburu selalu mempunyai sikap benci terhadap saingannya.
d.
Gembira
Gembira adalah ekspresi dari kelegaan, yaitu perasaan terbebas dari ketegangan. Biasanya
kegembiraan disebabkan oleh hal-hal yang bersifat tiba-tiba (surprise) dan kegembiraan biasanya bersifat spesial, yaitu melibatkan
orang- orang lain di sekitar orang yang sedang gembira
tersebut.
e.
Marah
Sumber utama
dari kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktivitas untuk sampai pada
tujuannya. Dengan demikian, ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak
mereda, bahkan bertambah. Untuk menyalurkan ketegangan- ketegangan itu individu
yang bersangkutan menjadi marah.
B.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Emosi
Beberapa ahli
psikologi menyebutkan adanya beberapa faktor
yang mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, yaitu:
1.
Pola asuh orangtua.
Pola asuh orang tua
terhadap anak bervariasi. Ada yang pola asuhnya menurut apa yang dianggap
terbaik oleh dirinya sendiri saja, sehingga ada yang bersifat otoriter,
memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga dengan penuh cinta kasih.
Perbedaan pola asuh dari orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap
perbedaan perkembangan emosi peserta didik.
Keluarga merupakan
lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan
diri sebagai mahluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang
pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalamannya berinteraksi di
dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak tehadap orang lain
dalam lingkungannya. Dalam pembentukan kepribadian seorang anak, keluarga
mempunyai pengaruh yang besar. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut
berpengaruh dalam perkembangan kepribadian seorang anak, salah satu faktor
tersebut adalah pola asuh orangtua.
Pengasuhan ini
berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak
sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dimana suatu tugas
tersebut berkaitan dengan mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya
baik secara fisik maupun psikologis.
Cara orang tua
memperlakukan anak-anaknya akan memberikan akibat yang mendalam dan permanen
pada kehidupan anak. Pasangan yang secara emosional lebih terampil merupakan
pasangan yang paling berhasil dalam membantu anak-anak mereka mengalami
perubahan emosi. Pendidikan emosi ini dimulai pada saat-saat paling awal dalam
rentang kehidupan manusia, yaitu pada masa bayi.
Idealnya orangtua
akan mengambil bagian dalam pendewasaan anak-anak karena dari kedua orangtua
anak akan belajar mandiri melalui proses belajar sosial dengan modelling
2.
Pengalaman traumatik.
Kejadian-kejadian
traumatis masa lalu dapat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang, dampaknya
jejak rasa takut dan sikap terlalu waspada yang ditimbulkan dapat berlangsung
seumur hidup. Kejadian-kejadian traumatis tersebut dapat bersumber dari
lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga.
3.
Temperamen.
Temperamen dapat
didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional kita.
Hingga tahap tertentu masing- masing individu memiliki kisaran emosi
sendiri-sendiri, temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian
dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia.
4.
Jenis kelamin
Perbedaan jenis
kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal
antara laki-laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang
berpengaruh pula terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara
keduanya.
5.
Usia
Perkembangan
kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usianya.
Hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kematangan fisiologis seseorang. Ketika usia semakin tua, kadar hormonal dalam
tubuh turut berkurang, sehingga mengakibatkan penurunan pengaruhnya terhadap
kondisi emosi. Namun demikian, dalam hal ini tidak menutup kemungkinan
seseorang yang sudah tua, kondisi emosinya masih seperti orang muda yang
cenderung meledak- ledak. Hal tersebut dapat diakibatkan karena adanya
kelainan- kelainan di dalam tubuhnya, khususnya kelainan anggota fisik.
Kelainan yang tersebut dapat terjadi akibat dari pengaruh makanan yang banyak
merangsang terbentuknya kadar hormonal.
6.
Perubahan jasmani.
Perubahan jasmani
ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh.
Pada taraf permulaan petumbuhan ini hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu
saja yang mengakibatkan postur tubuh menjadi tidak seimbang. Ketidak seimbangan
tubuh ini sering mempunyai akibat yang tidak terduga pada perkembangan emosi
peserta didik. Tidak setiap peserta didik dapat menerima perubahan kondisi tubuh
seperti ini, lebih-lebih perubahan tersebut menyangkut perubahan kulit yang
menjadi kasar dan penuh jerawat. Hormone-hormon tertentu mulai berfungsi
sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat menyebabkan
rangsangan di dalam tubuh peserta didik dan seringkali menimbulkan masalah
dalam perkembangan emosinya.
7.
Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya.
Peserta didik
sering kali membangun interaksi sesame teman sebayanya secara khas dengan cara
berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama dengan membentuk semacam geng.
Interaksi antar anggotanya dalam suatu kelompok geng biasanya sangat intens
serta memiliki kohesivitas dan solidaritas yang sangat tinggi. Fakor yang
sering menimbulkan masalah emosi pada masa ini adalah hubungan cinta dengan
teman lawan jenis. Gejala ini sebenarnya sehat bagi peserta didik, tetapi tidak
jarang menimbulkan konflik atau gangguan emosi pada mereka jika tidak diikuti
dengan bimbingan dari orang tua atau orang yang lebih dewasa.
8.
Perubahan Pandangan Luar.
Ada sejumlah perubahan
pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam
diri peserta didik, yaitu:
a.
Sikap dunia luar terhadap peserta didik sering tidak
konsisten
b.
Dunia luar atau masyarakat masih menerapkan nilai-nilai
yang berbeda untuk peserta didik laki-laki dan perempuan.
c.
Seringkali kekosongan peserta didik dimamfaatkan oleh
pihak luar yang tidak bertanggung jawab.
9.
Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Sekolah merupakan
tempat pendidikan yang sangat diidealkan oleh pererta didik. Para guru merupakan
tokoh yang sangat penting dalam kehidupan mereka karena selain tokoh
intelektual, guru juga merupakan tokoh otoritas bagi para peserta didiknya.
Oleh karena itu tidak jarang anak-anak lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih
takut kepada guru daripada kepada orang tuanya. Posisi guru disini amat
strategis apabila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian
materi-materi yang positif dan konstruktif.
C.
Beberapa masalah yang Terkait dengan
Pertumbuhan dan Perkembangan Emosional
1. Gangguan Emosional pada Kanak-kanak
Terdapat beberapa
gangguan emosional pada masa kanak-kanak sehingga terkesan dan sebagai penyebab
ketakutan kanak-kanak untuk melakukan kegiatan. Antara lain pada suasana yang
gelap sehingga takut melakukan sesuatu pada malam hari di luar rumah; takut
berhadapan dengan seorang dokter karena pernah mendapat pengobatan yang
berlebihan dosisnya (overdosis);
karena temperamen orang dewasa dirumahnya, misalnya sering dimarahi sehingga
anak takut berhadapan dengan orang dewasa, baik dengan orang tuanya sendiri
maupun orang lain.
Anak-anak yang
sering mengalami gangguan semacam itu selalu merupakan masalah bagi para
psikiater, kurang lebih 20-25% yang menderita gangguan tersebut dan hanya
sekitar 1 diantara 5 orang anak yang mendapatkan perawatan dengan baik. Gangguan semacam ini dapat disebabkan oleh
berbagai faktor. Menurut hasil
penelitian Pittsburgh diperoleh informasi bahwa 22% dari 789 anak usia antara
7-11 tahun sering mendapat perawatan dari seorang psikiater pada tahun-tahun
pertama (Costello et al dalam Sumantri,
M & Nana S, 2007). Hasil penelitian
lain menunjukkan 5-15% anak yang mengalami gangguan, namun prosentasi yang
rendah ini mewakili 3-9 juta anak (Knitzer dalam
Sumantri, M & Nana S, 2007).
Anak laki-laki di
Afrika dan Amerika dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, mengalami
risiko yang tinggi, karena tekanan hidup dan stres selama hidupnya, akibatnya
mereka seringkali mengulang kelas di sekolahnya. Hal ini juga dapat disebabkan karena orang
tuanya seringkali bermasalah dengan psikiater.
2. Beberapa Tipe Masalah Emosional
Kebrutalan atau
kebringasan anak nampak pada perilakunya; mereka menunjukkan suatu perbuatan
yang seringkali memerlukan bantuan orang lain.
Misalnya; berkelahi, berbohong, mencuri, merusak hak milik dan merusak
aturan yang berlaku. Bentuk-bentuk
tindakan tersebut merupakan ekspresi yang keluar dari emosional yang
terganggu. Sekalipun demikian pada
umumnya anak-anak berusaha merubahnya dan menutupi perilaku mereka dengan
mengemukakan alasan untuk dapat dipercayai oleh orang lain, menutupi
kebohongannya dengan maksud menghindari hukuman karena perbuatannya. Akan
tetapi ketika anak telah berusia lebih dari 6 atau 7 tahun sekalipun mereka tetap
membuat cerita yang bohong, mereka merasa sadar tidak aman perasaannya. Oleh karena itu dia membuat cerita yang
muluk-muluk agar orang lain percaya kepadanya; dapat pula mereka lakukan
berbuat bohong tersebut karena untuk menyenangkan orang tuanya (Chapman dalam Sumantri, M & Nana S, 2007).
Seringkali juga
terjadi pencurian kecil-kecilan yang dilakukan oleh anak-anak. Namun hal
semacam ini tidak selamanya merupakan perbuatan yang salah kecuali apabila
perbuatan semcam itu dilakukan secara terus-menerus terhadap orang tuanya atau
bahkan dilakukan secara terbuka terhadap orang lain;mereka dapat ditangkap,
namun untuk kesekian kalinya mereka berusaha ingkar dan berusaha menyenangkan
atau mengelabui orang tuanya. Setiap
perilaku anti sosial yang kronis harus dianggap sebagai suatu tanda adanya
emosional yang terganggu.
3. Gangguan Kecemasan
Berbagai
gangguan kecemasan dimulai pada masa kanak-kanak. Gangguan keinginan tersebut dapat berupa
gangguan keinginan terpisah dan ketakutan (phobia)
sekolah. Gangguan keinginan terpisah
dari orang yang terdekat disebabkan berbagai hal yang berbeda-beda dan dapat
berakibat anak mengalami sakit kepala, sakit perut, dan sebagainya. Akan tetapi kondisi semacam ini sangat
berbeda di antara anak-anak yang berusia satu atau dua tahun yang mengalami
gangguan keinginan terpisah.
Anak-anak
yang menderita gangguan keinginan semacam ini seringkali tidak mau berteman; dengan
kata lain dia suka menyendiri dan selalu peduli terhadap penyakitnya, misalnya
sakit kepala, sakit perut. Kondisi
semacam ini dapat mempengaruhi anak laki-laki maupun perempuan semenjak
kanak-kanak bahkan sampai dewasa usia mahasiswa.
4. Takut Sekolah
Suatu ketakutan yang tidak realistic adala apabila seorang
anak tidak mau sekolah, mungkin kondisi semacam ini juga merupakan keinginan
terpisah. Ketakutan terhadap guru yang
keras (galak) atau mendapat tugas yang berat disekolah. Ketakutan anak tersebut adalah wajar, hal ini
bukannya disebabkan oleh anak melainkan oleh lingkungan yang tidak kondusif,
oleh karena itu suasana sekolah perlu dirubah.
Berkaitan dengan masalah tersebut yang dapat kita lakukan adalah:
Dijaga jangan sampai anak tersebut suka membolos /
meninggalkan kelas. Orang tua mereka
tahu bahwa anak-anaknya tidak hadir di sekolah. Namun anak-anak tersebut dapat
memperoleh nilai rata-rata, bahkan lebih tinggi daripada teman-temannya,
memiliki intelegensi melebihi rata-rata dan merupakan anak yang baik. Usianya antara 5-15 tahun dan dapat terjadi
baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
Sekalipun mereka datang dari berbagai keluarga dengan latar belakang
yang berbeda, namun orang tuanya cenderung professional. Orang tua mereka justru lebih menyukai/mencintai
mereka dan bukannya suka menekan anak-anaknya; gangguan keinginan tersebut
disebabkan oleh perilaku anak itu sendiri.
Unsur yang paling penting dalam memperlakukan anak yang takut (phobia) pada skeolah dapat dimulai sejak
dini dan dilakukan secara terus-menerus.
Apabila perlakuan semacam ini dilakukan secara teratur dan dibimbing
dengan baik, maka pada saat kembali sekolah anak tersebut tidak akan mengalami
kesukaran apapun. Berbagai penelitian
yang dilakukan beberapa waktu belakangan ini hasilnya kurang jelas, sekalipun
dapat menentukan bahwa perlakuan yang baik dapat menolong anak menyesuaikan
diri pada lingkungannya (D. Gordon&Young dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).
5. Kematangan Sekolah
Kematangan sekolah merupakan suatu kondisi dimana anak telah
memiliki kesiapan cukup memadai, baik dilihat dari fisiknya maupun mental,
untuk dapat memenuhi tuntutan pendidikan formal. Dalam hubungan tuntutan yang bertalian dengan
aspek penguasaan materi atau bahan pelajaran, dan kemampuan membina interaksi
antara teman-teman sebaya, baik teman satu kelas maupun teman dari kelas lain,
berinteraksi dengan guru, kepalaa sekolah dan personil sekolah lainnya. Secara umum usia anak yang dianggap matang
sekolah adalah lima atau enam tahun.
Pada rentang usia ini, anak telah mencapai perkembangan fisik sebagai
dasar yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan segala sesuatu di sekolah,
antara lain anak telah mampu mengurus dirinya sendiri, menguasai penggunaan
alat tulis dengan betul dan dapat menerima makanan padat. Disamping itu perkembangan kognitif yang
memadai juga sangat dibutuhkan, misalnya anak mulai dapat membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis sangat penting karena merupakan dasar untuk
memahami seluruh materi atau bahan pelajaran yang diberikan di sekolah.
Secara psikis pada usia ini umumnya anak telah mampu mengatur
proses buang air kecil, mulai bersosialisasi dalam pengertian telah dapat
membedakan teman laki-laki atau perempuan, serta berusaha membedakan antara
salah dan benar.
Kemampuan dasar lainnya adalah bahwa anak telah mampu
mengembangkan hubungan emosional yang sehat dengan orang tua, teman sebaya dan
orang lain. Pada saat mulai masuk
sekolah anak tidak memiliki rasa kecemasan karena terpisah dengan orang tuanya.
Selain menerima kasih sayang, anak juga telah mampu memberikan kasih sayang
kepada teman sebayanya maupun kepada orang lain. Hal semacam ini juga dapat
mendukung anak pada saat belajar sekolah.
6. Depresi pada Masa Kanak-kanak
Anak-anak mulai sadar akan popularitas seringkali mengatakan
“ tidak ada orang seperti saya”. Namun
ketika ucapan terebut ditujukan kepada kepala sekolah oleh seorang anak yang
berusia 8 tahun yang kebetulan teman sekelasnya yang menuduh dia mencuri dompet
gurunya, hal semacam ini merupakan tanda bahaya bagi sekolah. Akibatnya anak tersebut tidak suka dan tidak
mau datang lagi ke sekolah karena malu.
Untunglah bahwa anak yang tertekan tersebut jarang yang berkepanjangan,
walaupun angka bunuh diri pada anak-anak meningkat. Gejala-gejala dasar yang mempengaruhi
gangguan tersebut adalah serupa pada masa kanak-kanak hingga dewasa. Hanya pada usia tertentu terdapat sedikit
perbedaan. Keakraban hanya merupakan
salah satu tanda dari anak-anak yang mengalami depresi. Gangguan tersebut juga dapat mengakibatkan
anak tidak suka bersenang-senang, tidak dapat berkonsentrasi dan tidak dapat
menunjukkan berbagai reaksi emosional yang normal. Anak-anak yang mengalami depresi sedikit
sekali suka berjalan atau berteriak.
Gejala-gejala depresi antara lain; gangguan konsentrasi, tidur kurang,
selera makan kurang, mulai berbuat kejelekan di sekolah, tidak merasa bahagia,
selalu mengeluh karena penyakit jasmani yang dideritanya, selalu merasa
bersalah, takut sekolah atau sering memikirkan bunuh diri (Malmquist&Poznanski
dalam Sumantri M & Syaodih N,
2007). Setiap empat atau lima dari
gejala-gejala tersebut banyak mendukung suatu diagnose ada depresi terutama
apabila anak menunjukkan perilaku lain tidak seperti anak-anak normal. Pada umumnya orang tua tidak memahami adanya
berbagai masalah kecil seperti gangguan waktu tidur, kehilangan nafsu makan dan
sebagainya, namun seringkali anak sendiri dapat menunjukkan adanya gangguan
tersebut.
Tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui penyebab timbulnya
depresi semacam ini secara tepat. Pada
orang tua yang memiliki anak yang menderita depresi merasa seakan-akan dia
sendiri yang sedang mengalami depresi.
Ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan faktor keturunan, ada yang
mengatakan bahwa depresi tersebut dikarenakan adanya stress umum dalam
keluarga, dikarenakan kurang perhatian orang tua karena mereka juga sedang
mengalami gangguan (Weissman et al dalam Sumantri
M & Syaodih N, 2007). Anak usia
sekolah yang sedang menderita depresi biasanya kurang bergaul dan tidak
memiliki kompetensi akademik, namun hal tersebut masih belum jelas penyebabnya
apakah kurangnya kompetensi tersebut dikarenakan adanya depresi atau sebaliknya
yaitu depresi akibat tidak kompetennya anak
(Blechman,McEnroe,Carella&Audette
dalam Sumantri M & Syaodih N, 2007).
D.
Cara mengatasi beberapa masalah yang
terjadi terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan emosional
Pilihan untuk
perawatan secara khusus untuk gangguan tertentu sangat tergantung pada berbagai
faktor, misalnya problema yang bersifat alamiah, kepribadian anak, kesediaan
orang tua untuk berpartisipasi, kemudahan diperolehnya perawatan dalam
masyarakat, sosial ekonomi orang tua dan orientasi profesional pada pertama
kali berkonsultasi.
Perawatan
psikologis dapat dilakukan dengan melihat anak satu persatu, membantu agar anak
dapat mengenal dirinya atau kepribadiannya dan hubungannya dengan orang lain
dan menginterpretasikan perasaan dan perilaku anak. Cara demikian dapat menolong anak pada suatu
waktu yang sedang mengalami stress berat dalam hidupnya, seperti baru saja
ditinggalkan orang tuanya untuk selama-lamanya.
Sekalipun kadang-kadang anak tidak memperlihatkan bahwa dia sedang
mengalami gangguan. Psikoterapi biasanya
akan lebih efektif apabila dikombinasikan dengan memberikan konsultasi pada
orangtuanya.
Terapi merupakan
penetapan sistematik dari sekumpulan prinsip belajar terhadap suatu kondisi
atau perilaku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud dapat berarti
menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau memodifikasi suatu kondisi atau
perilaku tertentu. Misalnya anak yang
menderita phobia dilatih agar mengurangi rasa takutnya hingga mencapai kadar
yang wajar. Secara umum terdapat dua
jenis terapi utama, yaitu; terapi yang dilakukan dalam jangka pendek biasanya
berkaitan dengan masalah ringan yang dapat diselesaikan dengan memberikan
metode memberikan dorongan, dukungan memberi ide-ide bagus, menghhibur atau
membujuk anak agar mau berbuat sesuatu.
Kedua dilakukan dalam jangka waktu panjang, yaitu bertalian dengan
berbagai masalah yang memerlukan keteraturan dan kontinuitas demi terciptanya
perubahan perilaku anak. Sebagai contoh
dapat dikemukakan antara lain terapi bermain dan terapi keluarga.
Terapi bermain
Terapi ini
berusaha mengubah perilaku anak yang bermasalah dengan menempatkan anak dalam
situasi bermain. Untuk pelaksanaannya
biasanya disediakan ruangan khusus yang telah diatur sedemikian rupa sehingga
anak bisa bersantai dan dapat mengekspresikan segala perasaan dengan
bebas.
Terapi keluarga
Terapi ini
berusaha mengubah perilaku anak yang memiliki permasalahan dalam lingkungan
keluarga, saling akrab satu sama lain, saling cinta mencintai, saling mendukung
atau menggambarkan bantuan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu untuk melaksanakan terapi ini
perlu kehadiran seluruh keluarga, atau minimal anggota keluarga yang paling
dekat dengan anak tersebut. Dalam hal ini usaha pembinaan dan bimbingan dari
keluarga yang lebih tua sangat dibutuhkan.
Terapi perilaku atau modifikasi perilaku
Metode ini
diterapkan dengan mempergunakan teori belajar untuk mengubah perilaku anak
yaitu dengan menghilangkan perilaku yang tidak disenangi seperti pemarah, atau
mengembangkan keinginan, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Para ahli terapi perilaku tidak mencari
alasan yang berkaitan dengan perilaku tersebut, atau tidak mencoba menawarkan
tilikan anak pada dirinya sendiri secara khusus dalam situasi tertentu akan
tetapi tujuan mereka adalah mengubah perilaku anak. Ahli tersbeut mempergunakan peran yang
dikondisikan untuk mendorong agar anak melakukan sesuatu misalnya menaruh
pakaian kotor ke dalam ember. Demikian
anak melakukannya berkali-kali apabila hasilnya baik dia mendapat reward atau
hadiah misalnya dengan memberikan pujian atau hadiah berupa mainan.
Perawatan untuk
berbagai masalah khusus, misalnya karena terlalu aktif akan lebih banyak
daripada terapi yang tujuannya untuk penyesuaian sosial yang lebih baik. Tidak seoarang pun yang dapat memberikan
terapi secara keseluruhan, misalnya bagi seorang anak atau kelompok, atau
perawatan bagi anak dan orang tuanya sekaligus; sebaiknya suatu perawatan untuk
masalah tertentu saja (Tuma dalam Sumantri
M & Syaodih N, 2007). Terapi perilaku khusus diterapkan secara efektif
untuk rasa ketakutan (phobi) dan berbagai masalah umum dengan control diri.
Obat-obatan dapat menolong perawatan bagi anak yang menderita
gangguan, namun jangan mengabaikan psikoterapi.
Biasanya penggunaan obat-obatan dikombinasikan dengan perawatan lain
agar dapat lebih efektif. Akan tetapi
penggunaan pil untuk mengubah perilaku anak merupakan langkah yang sangat
radikal. Dalam beberapa kasus obat-obatan dapat menghilangkan gejala perilaku,
namun tidak dapat menghilangkan penyebab
penyakitnya.
Selagi para orang tua, ahli terapi dan peneliti seringkali
melihat adanya perbaikan terbatas pada anak-anak yang mendapat terapi, baik
para guru dan teman bermain cenderung tidak melihat adanya perbaikan
tersebut. Pertama karena kesan tersebut
sangat sukar diatasi. Hal semacam ini akan dapat ditolong apabila orang tua
mengatakan kepada guru bahwa anaknya telah mendapat terapi dan ada perbaikan
dan mohon bantuan agar anak mendapat teman baru dan tidak mengetahui apa yang
telah diderita anak sebelum memperoleh
perawatan mengatakan kepada guru bahwa anaknya telah mendapat terapi dan ada
perbaikan, disamping dan dibantu agar anak tersebut mendapat tidak mengetahui
apa yang telah diderita anak sebelum
memperoleh perawatan.
BAB III
STUDI KASUS DAN PENYELESAIANNYA
A.
Studi Kasus
1.
Masalah emosional, seperti rasa takut, cemas dan
khawatir yang kerap terjadi pada siswa yang baru mulai sekolah ataupun siswa
yang akan menghadapi ujian akhir sekolah ataupun ujian nasional.
2.
Motivasi belajar yang rendah yang dialami oleh
siswa yang telah memulai pelajaran disekolahnya.
3.
Meningkatnya solidaritas sesama jenis kelamin dan
kecemburuan terhadap lawan jenisnya dalam proses belajar mengajar di kelas ataupun
diluar kelas (jam sekolah) pada siswa SD
4.
Ketidakdisiplinan yang ditandai dengan perilaku-perilaku
sebagai berikut; ramai di dalam kelas, terlambat datang ke sekolah, tidak
memakai seragam, tidak mengerjakan PR atau melalaikan tugas.
5.
Pertengkaran antar siswa dan perbuatan asosial lain
seperti pemalak, mengambil milik orang lain/mencuri/mengutil serta masalah tata
krama siswa (misalnya;berbicara tidak sopan, tidak jujur).
6.
Pencarian identitas diri yang pada akhirnya menyimpang
ke arah negative seperti penggunaan Mihol dan penyalahgunaan Narkoba yang biasa
terjadi pada masa remaja atau dewasa awal
7.
Depresi pada anak
B.
Penyelesaiannya
1. Pada siswa baru yang mulai masuk
sekolah mengalami masa transisi lingkungan.
Dia biasa hidup di lingkungan yang kecil (keluarga) kini dihadapkan pada
lingkungan yang lebih besar (lingkungan sekolahnya) dimana ia bertemu dengan
orang yang baru. Hal ini dapat menyebabkan siswa tersebut
merasa takut, cemas dan khawatir karena ia hanya sendirian menghadapi
lingkungan yang baru tersebut karena biasanya ia didampingi orang tuanya /
keluarganya. Beberapa cara yang dapat
kita lakukan adalah dengan:
a.
Pada
saat pertama masuk sekolah dapat juga kita melibatkan orang tua dalam permainan
seperti mengelilingi sekolah (siswa masih digandeng orang tua masing-masing)
kemudian setelah selesai permainan tersebut, orang tua diperkenankan
meninggalkan kelas tapi masih boleh menunggui anaknya di luar kelas (karena
sang anak tidak mau ditinggal orang tuanya)
b.
Pada
siswa seperti ini, kita sebagai guru harus pandai mengambil hati sang anak agar
ia mau membaur dengan teman-temannya, tidak takut untuk bermain dengan teman
barunya. Bisa juga dengan memberikan
sebuah permainan yang melibatkan siswa yang satu dengan yang lainnya sehingga
antara siswa yang satu dengan yang lainnya membaur bersama sehingga pada saat
interaksi tersebut (interaksi yang menyenangkan) siswa merasa nyaman dengan
lingkungan barunya.
c. Selain
hal tersebut diatas, rasa takut mungkin timbul karena penampilan guru yang
dianggap “menakutkan” oleh siswa. Jika
demikian, kita sebagai guru harus juga memperhatikan penampilan kita,
berpakaian yang rapih, selalu tersenyum kepada siswa (ramah tamah) dan pada
saat memulai pelajaran hendaknya diawali dengan pemanasan misalnya dengan
melakukan tebak-tebakan yang terkait dengan materi yang akan diajarkan sehingga
kesan seram dapat dihilangkan dan kesan belajar menyenangkan dapat dirasakan
siswa.
d. Untuk
siswa yang merasa takut, cemas, khawatir karena akan menghadapi ujian akhir
ataupun ujian nasional, kita sebagai guru hendaknya lebih bijak dalam bertindak
dalam arti kita tidak menuntut terlalu banyak kepada murid misalnya dengan
menargetkan semua harus lulus dan konsekuensi logisnya adalah dengan memberikan
pelajaran tambahan yang justru mugkin untuk sebagian siswa pelajaran tambahan
yang diberikan terlalu sering akan semakin menambah rasa takut dan cemasnya. Hendaknya disela-sela pertemuan dengan siswa,
kita memberikan spirit ataupun semangat dan motivasi untuk berusaha sekuat
tenaga dan berdoa, hasil akhir serahkan kepada Tuhan. Kaidah kausalitas selalu berlaku, tanamkan
hal tersebut pada siswa, usaha yang keras dan doa yang tiada henti akan
memberikan hasil yang lebih bagus daripada orang yang hanya berdoa tanpa
berusaha ataupun hanya berusaha tanpa berdoa.
2.
Motivasi
belajar yang rendah dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya; dari siswa
itu sendiri dan dari lingkungan tempat ia tinggal (lingkungan sekitar dan
anggota keluarga). Yang dapat dilakukan
oleh seorang guru adalah dengan pendekatan psikologis kepada anak tersebut dan
kepada orang tuanya. Kedua hal tersebut
harus dilakukan agar hasil yang dicapai akan lebih optimal. Kepada anak kita lakukan dengan memberinya
motivasi untuk menjadi pintar dengan memberikan contoh riil yang nyata yang
dapat dimengerti anak. Contohnya dengan
pengibaratan, jika menjadi pedagang ilmu apa yang harus dikuasai, bayangkan
jika tidak memiliki ilmu tersebut.
Misalnya ada pembeli membeli barang dagangan kita, yang seharusnya
diberi kembalian dua ribu rupiah karena tidak pandai dalam matematika maka kita
akan member kembalian 5 ribu atau sekian rupiah. Jika hal ini terjadi terus-menerus maka akan
menanggung kerugian bahkan tutup usaha.
Dari sini kita memberikan motivasi agar anak ingin belajar matematika
karena ilmu ini akan bermanfaat kelak untuk kehidupannya.
3. Dalam mengajar, sebaiknya guru
menghilangkan sikap diskriminasi terhadap siswa tertentu, artinya guru tidak
memihak salah satu murid tertentu atau sekelompok siswa putera ataupun puteri.
Hal yang demikian akan memunculkan sikap antagonisme dan kecemburuan siswa
terhadap siswa lawan jenisnya. Perlakukan semua siswa dengan adil, misalnya
pada saat kebersihan, libatkan semua murid baik laki-laki maupun perempuan
dengan member tugas sesuai dengan kemampuan mereka dengan waktu yang sama.
4. Ketidakdisiplinan dapat terjadi
karena siswa itu sendiri ataupun dorongan dari teman sebayanya. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan
memberi punishment/reward (hukuman/penghargaan). Hukuman yang diberikan pun
harus mendidik, bukan hukuman yang malah akan membuat siswa menjadi lebih tidak
disiplin. Memberikan hukuman kepada siswa
dengan memberikan tugas yang berlipat-lipat dihindari, alangkah baiknya bila
guru melihat kondisi kejiwaan dan kemampuan berpikirnya. Hal ini bila
diabaikkan justru yang terjadi adalah siswa yang kurang mampu dalam berpikir akan membuatnya
semakin takut dan enggan untuk sekolah ataupun enggan untuk mengerjakan
tugas-tugas / PR. Sebaliknya bagi siswa yang berkemampuan lebih dalam berfikir,
ia akan semakin semangat dan tertantang dalam belajar. Begitu pula dalam
memberikan hukuman, sebaiknya guru memberikannya sebagai alternatif terakhir
disertai dengan sikap empati. Artinya setelah guru memberikan hukuman pada
siswa, guru bersikap seperti semula dan tidak membenci siswa setelah siswa
melakukan kesalahan. Untuk siswa yang
sering membuat kegaduhan di kelas sebaiknya diberikan materi tambahan atau
tugas tambahan, biasanya siswa yang demikian adalah siswa yang sudah mengerti
materi ataupun belum sama sekali sehingga ia menggoda teman-temannya. Untuk siswa yang sudah memahami diberikan
materi yang lebih jauh dibandingkan temannya dan untuk siswa yang belum paham
sekali di tunggui dalam arti kita memberikan perhatian yang lebih dibandingkan
kepada siswa yang lainnya.
5. Langkah guru dengan melakukan
pendekatan secara individual atau pendampingan, merupakan langkah yang tepat dan
adanya ketanggapan guru terhadap masalah perasaan siswa. Jadi, dalam belajar di
sini adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Demikian pula kedekatan
guru dengan siswa perlu dipertahankan selama tidak menggangu dalam proses
belajar-mengajar. Sebab hubungan guru dan siswa yang akrab dan harmonis akan
memunculkan semangat belajar dan siswa akan lebih mencontoh segala perilaku
gurunya sebagai orang terdekatnya. Untuk itulah perlunya guru agar lebih
berhati-hati dalam bertindak dan berbicara, karena guru adalah tokoh panutan
bagi siswa-siswanya sampai dewasa kelak.
Terapi perilaku denga metode bermain peran dapat juga dilakukan untuk
memperbaiki perilaku siswa yang menyimpang.
Dengan permainan yang melibatkan siswa lain akan menimbulkan kerja sama
antar siswa sehingga rasa kebersamaan dapat tumbuh dan rasa persaudaraan juga
tumbuh. Pertengkaran siswa yang satu
dengan yang lainnya pun dapat dihindari karena siswa merasa bersaudara.
6. Pencarian identitas diri kerap kali
menjadi alasan bagi para remaja untuk pembenaran terhadap apa yang dilakukannya
termasuk ke dalam penyalahgunaan mihol ataupun narkoba. Pendekatan psikologis dilakukan agar dapat
diketahui penyebab dari penyimpangan tersebut sehingga dapat diselesaikan
berdasarkan akar masalahnya. Pada permasalahan
ini libatkan juga orang tua. Terapi
psikoterapi pada psikolog dilakukan jika memang diperlukan dan rehabilitasi
perlu dilakukan agar lepas dari pengaruh narkoba yang selama ini
dikonsumsi. Hal tersebut dilakukan
secara bersama-sama agar hasil yang dicapai dapat optimal, dukungan orang tua
merupakan hal yang lebih penting untuk menyelesaikan masalah ini.
7. Depresi adalah sama dengan perasaan
sedih,murung,kesal,tidak bahagia dan menderita. Penyebab depresi: Tekanan dalam hidup sehari-hari(misal:tuntutan
pekerjaan dan sekolah), masalah
dan tekanan dalam ekonomi(misal:hutang yang menumpuk
atau piutang yang belum di bayar), kemampuan dan kecakapan sosial yang buruk buruk(misal:harga diri rendah
karena merasa kurang menarik walaupun sudah berpenampilan baik dan sopan),
cara berfikir yang buruk (misal:sering merasa
khawatir dan cemas secara berlebihan, merekayasa hal yang menakutkan dan bodoh
yang sesekali akan terjadi).
Pendampingan / pendekatan psikologi dari orang-orang terdekat sangatlah
dibutuhkan. Misalnya dengan meminta anak tersebut bercerita dan kita siap untuk mendengarkannya (curhatannya) sehingga diketahui akar masalahnya dan kita dapat memberikan
penyelesaian sesuai dengan akar permasalahannya tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar
bagaimana menurutmu?